Hallo>>>><<<<<< Mat Datang......(^_^)..... HAAA...HA... (^_^)

Don't forget the time

Sabtu, 10 September 2011

Indonesia Juga Alami Radikalisasi Ekonomi, Sosial & Budaya


Selasa, 5 Juli 2011 | 9:41
Din: KPK Jangan Terintervensi dalam Kasus Nazaruddin. Foto:ist Din: KPK Jangan Terintervensi dalam Kasus Nazaruddin. Foto:ist


SURABAYA - Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin, menyatakan radikalisasi di Indonesia bukan hanya ideologi, namun juga terjadi radikalisasi ekonomi, sosial, dan budaya.

"Radikalisasi sebagai dampak global tidak hanya ideologi, namun kita juga sok, misalnya kita menjalin kerja sama kawasan pasar ekonomi ASEAN-China (ACFTA). Padahal, hal itu membuat asing mudah masuk ke Indonesia," katanya di Surabaya, Senin.

Ia mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara dalam rembuk kebangsaan bertema "Membedah Paham Radikal, Memahami Nilai-Nilai Pancasila" yang digelar dalam rangka pelantikan pengurus Nasional Demokrat (Nasdem) se-Jatim.

Menurut dia, kawasan pasar ekonomi yang disepakati bersama itu tidak hanya membuat investor asing mudah masuk ke Indonesia, namun kalangan asing pun menjadi dominan dalam pasar Indonesia, apalagi UU menjamin.

"Dominasi asing di Indonesia ada dalam tiga bidang, yakni energi, perbankan, dan telekomunikasi dengan kepemilikan asing hingga di atas 50%. Hal itu membuat masyarakat Indonesia hanya menjadi konsumen," katanya.

Oleh karena itu, katanya, masyarakat hendaknya tidak hanya terjebak dengan radikalisasi ideologi, sebab radikalisasi di bidang ekonomi, sosial, dan budaya justru menjadi "lahan sumber" dari tumbuhnya radikalisasi ideologi.

"Untuk menangkal radikalisasi dalam segala bidang itu, maka kita harus kembali kepada Pancasila. Pancasila memang bukan Islam, tapi Pancasila itu Islami. Kalau bukan Pancasila, maka Indonesia akan menjadi salah satu dari 10 besar 'Negara Gagal' versi PBB," katanya.

Senada dengan itu, Rais Syuriah PBNU, KH A Hasyim Muzadi, menyatakan ada tiga alasan ulama menerima Pancasila yakni syariat, politis, dan sosial-budaya lain.

Alasan politis itu dikarenakan konstruksi negara Islam tidak tercermin dalam Piagam Jakarta, sedangkan alasan sosial adalah upaya untuk menjaga mereka akhirnya.

"Alasan terpenting adalah alasan kemaslahatan umat yakni agama menampung nilai-nilai, sebab pengakuan terhadap salah satu dari agama di Indonesia akan menyulut pertengkaran antar-suku, ras, dan antargolongan," katanya.

Program Deradikalisasi Dapat Menjadi Radikalisasi Baru

Program Deradikalisasi Dapat Menjadi Radikalisasi Baru



Intensitas persemaian demokrasi di negara-negara Muslim yang beberapa tahun terakhir ini diiringi dengan bermacam program yang mendukung, diantaranya program deradikalisasi . Program ini ditujukan untuk mengatasi segala hambatan demokrasi, yang diterjemahkan menjadi konsep-konsep Islam. Tentu saja, program deradikalisasi justru dikhawatirkan akan menjadi sebentuk radikalisasi baru.
Menyadari potensi kemunculan gerakan radikalisasi baru tersebut, maka pada hari Sabtu, 16 Juli 2011, MUI Solo bekerjasama dengan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggagas sebuah seminar bertajuk “Mencari Format Deradikalisasi & Peluncuran Buku Gerakan Deradikalisasi”.
Bertempat di Aula Pascasarjana UMS, forum ini sekaligus membedah buku yang menjadi antitesis berbagai makalah yang disajikan dalam pertemuan pada hari Minggu, 21 November 2010 di Hotel Novotel Solo. “Terbitnya buku ini merupakan sebentuk kekritisan MUI Solo atas makalah-makalah yang disajikan pada pertemuan 21 November 2010 yang diadakan oleh MUI Pusat dan FKPMN (Forum Komunikasi Media Nasional). Banyak sekali konsep yang harus dikoreki”, jelas Dr. Muinudinillah Basri, salah satu pembicara seminar. Lebih jauh lagi, seminar tersebut merupakan kritik evaluasi dan dekonstruksi gerakan deradikalisasi aqidah Muslimin di Indonesia.
Selain Dr. Muinudinillah, hadir pula sejumlah tokoh seperti Munarman, Prof. Dr. Nasrudin Baidan dari STAIN Surakarta, dan Prof. Dr. Irfan dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Jakarta.
Bermodalkan dokumen yang ditulis oleh RAND Corporation, sebuah lembaga riset di AS yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa objektif dan solutif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu di seluruh dunia”; Munarman mengkritisi penggunaan kata “radikal” atau “ekstrim” yang dinisbatkan kepada siapapun yang punya cita-cita ingin menegakkan atau melegalkan syariat slam sebagai hukum formal negara. “Dalam dokumennya RAND sudah jelas, bahwa walaupun konstitusional, siapapun yang bercita-cita kayak gitu (melegalkan syariat Islam sebagai hukum formal, red), kelompok manapun, bergelar apapun, berarti Islam ekstrimis”, kata Munarman.
Menyinggung akar penyebab timbulnya radikalisme, para pembicara dan audience sepakat bahwa radikalisme merupakan sebentuk reaksi terhadap ketidakadilan sistem politik internasional. Kebijakan politik luar negeri Amerika sarat dengan negasi terhadap konsep-konsep dalam Islam serta upaya-upaya umat Islam mengaplikasikan ajaran Islam, terutama cita-cita politik umat Islam.
“Pasca Perang Dingin, Amerika mencari musuh agar rezimnya tetap eksis. Setelah Soviet, umat Islam yang dijadikan musuh. Ini sudah menjadi teori umum”, kata salah seorang peserta. Pendapat tersebut diamini oleh Munarman. “Hantu” berwujud ‘Islam radikal” dan “teroris” kemudian dimunculkan. Sambil melakukan pembunuhan karakter semacam ini, Amerika juga melakukan pembunuhan fisik umat Islam di Irak dan Afganistan, atas nama global war on terror. “Victory against terrorism will occur through the sustained efforts of a global coalition dedicated to ridding the world of those who seek to destroy our freedom or way of life”, tukas Munarman mengutip salah satu tulisan dalam dokumen RAND Corporation.
Munarman tampak antusias menunjukkan seluruh dokumen yang membuktikan keterlibatan Amerika dalam setiap upaya deradikalisasi kepada Prof. Irfan, pembicara dari BNPT Jakarta. Program deradikalisasi dengan soft power approach yang digagas BNPT ditengarai Munarman mirip dengan program yang dirancang RAND Corporation. “Saya tidak asal bicara sebab saya punya bukti dokumen. Program BNPT ini mirip dengan program yang digagas pemerintah Amerika atas rekomendasi dari RAND Corporation”, tegas Munarman. Munarman mencontohkan pemerintah Singapura yang menggunakan soft power approach untuk menangani terorisme atas rekomendasi RAND.
Terlepas dari kecurigaan itu, Munarman berharap pihak BNPT bersedia mengambil sikap kritis terhadap agenda Amerika. Sedangkan Dr. Muin berharap jangan sampai bangsa Indonesia terjebak oleh politik adu domba yang dilakukan oleh bangsa lain dengan mengkonstruk berbagai istilah yang kemudian dilekatkan pada Islam.
Sehingga penggunaan istilah “radikal” segera menimbulkan bias makna stadium empat; begitu dilekatkan pada sesuatu hal, maka akan terjadi dentuman dekonstruksi makna yang dampak “ledakan”nya sangat eksplosif.
Thus,  istilah “Islam radikal” menimbulkan ambiguitas dan menisbatkan sesuatu yang bersifat antagonis kepada Islam.  Contoh ambiguitas makna “Islam radikal” ditunjukkan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta  yang pada tahun 2004 menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia”, yang di dalamnya dimuat kriteria “Islam radikal”, yakni (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak  secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
Dalam tulisannya “Radikalisme atau Ekstrimisme?”, Adian Husaini menggugat istilah tersebut :
“Apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna?  Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pada agamanya dan gigihnya mereka dalam memperjuangkan cita-cita Islam di Indonesia. Namun, mereka tetap berupaya memperjuangkannya secara konstitusional”.
Definisi “Islam radikal” dalam makalah yang dipresentasikan dalam pertemuan MUI Pusat dan FKPMN 21 November 2010 juga memuat sejumlah kesalahan fatal yang harus dikoreksi demi memenuhi perintah Allah SWT untuk selalu memberi peringatan (Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 55 dan surat Al-A’la ayat 9). MUI Solo menerbitkan buku “Kritik Evaluasi & Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia”. Argumentasi yang disajikan dalam buku tersebut mampu menjawab seluruh bias makna serta pemahaman dalam membaca situasi dan posisi umat Islam saat ini. “Banyak kejadian yang menimpa umat islam khususnya dan masyarakat pada umumnya, diulas serta dicarikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai pendukung yang tidak tepat penempatannya. Yang akibatnya bilamana dipakai sebagai dasar untuk menegakkan “diagnosa” pasti salah, sehingga pemberian “terapi” justru lebih memperparah penyakitnya, bahkan sering berakibat fatal”, jelas Ketua MUI Kota Solo, Prof. Dr. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, Sp.PD-KR, FINASIM dalam kata pengantar untuk buku ini. 

penyebabb dan penyelesain

Disampaikan dalam diskusi publik yang diselenggarakan CDCC (CENTRE for DIALOGUE and COOPERATION among CIVILIZATIONS) di Jakarta, tanggal 12 Agustus 2011.
HANYA DIKARENAKAN BANYAK DIANTARA para pelaku pada aksi-aksi terorisme di Indonesia selama ini dilakukan oleh alumni pesantren hal tersebut ternyata semakin memperkuat asumsi mereka yang phobia terhadap Islam bahwa pesantren telah menjadi breeding ground (tempat pembiakan) radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Menggeneralisasi pesantren sebagai inkubator teroris tentu merupakan kesimpulan yang amat berlebihan dan sangat tidak arif. Buktinya, lebih banyak alumnus pesantren yang tidak menjadi teroris. Namun, bagi mereka yang pada dasarnya benci terhadap Islam sangkalan terhadap keterliban itu justru dianggap sebagai apologia, mengingat fakta itu jelas ada.
Kartosoewirjo dan Soekarno
Pertarungan antara Islam dan Nasionalis Pancasila yang digalang pemerintah sepertinya semakin menemukan bukti adanya upaya sistematis mengarah kepada pengkondisian terhadap pecah dan maraknya konflik horizontal yang sungguh sangat mengkhawatirkan. Pelibatan dan penggalangan komponen civil society secara massif yang dilakukan pemerintah tanpa malu-malu dalam menghadapi radikalisme -seperti yang sempat diamanatkan SBY kepada Said Agil Siraj (Ketum PB NU) dan disambut antusias oleh Banser dengan membuat Den 99- dinilai sebagai bentuk kelicikan pemerintah.
Upaya dan kebijakan pecah belah antara sesama ummat Islam oleh pemerintah seperti ini mengingatkan kita kepada Snouck Hurgronje di masa penjajahan Belanda, merusak Islam dan ummat Islam dari dalam. Kita akan maklum jika yang melakukan hal itu adalah manusia penjajah berkebangsaan Belanda. Tetapi jika yang melakukan upaya pecah belah, adu domba antara sesama warga Negara dan sesama agama bahkan antar agama tersebut adalah pemerintah NKRI sendiri, maka nyatalah jika pemerintah NKRI merupakan kepanjangan tangan penjajah Belanda yang kelakuannya lebih buruk dari Belanda.
Terorisme, radikalisme dan fundamentalisme yang dituduhkan pemerintah sebagai kekerasan atas nama agama (baca: Islam) dalam pandangan ummat Islam justru merupakan hasil kebijakan culas, keji dan jahat kaum Nasionalis Pancasila dalam bersaing mengisi kemerdekaan dan memenangkan ideologi politik.
Berdasarkan fakta sejarah di atas setidaknya terdapat tiga akar besar dan tiga akar kecil yang melatari dan sebagai penyebab terjadinya radikalisasi terhadap kalangan Islam dan pesantren yang merupakan pusat dan benteng pertahanan Islam. Yakni, adanya kebijakan pemerintah NKRI sejak awal mengisi kemerdekaan dalam menghadapi persaingan politik dan ideologi bangsa dengan dalih membangun karakter nasionalisme bangsa dengan segala konsekuensinya.
TIGA AKAR BESAR
Pertama, adanya penetapan ideologi Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang final, sehingga menutup rapat tentang kemungkinan adanya ideologi lain untuk boleh ada dan eksis, meski eksistensi ideologi lain tersebut merupakan realita, bahkan majority. Ideologi tersebut adalah Islam dan Sosialis Komunis.
Kedua, adanya penetapan kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan dan penerapan ideologi Pancasila atas bangsa yang dilaksanakan secara Top Down, sehingga mengharuskan pemerintah bersikap dan terjebak ke dalam perspektif negara diktator dan otoriter.
Ketiga, konsekuensi dari kebijakan sistem Top Down dalam menghadirkan dan menerapkan ideologi Pancasila berdampak pada langkah-langkah dan tindakan politis pemerintah, untuk menyalahgunakan kekuasaan, abuse of power yang dilakukan melalui operasi intelijen yang dirancang dalam rangka mengalahkan (provokasi, pembusukan dan assassination) terhadap potensi ideologi Islam dan yang lain, tentu dalam rangka memenangkan Penguasa.
TIGA AKAR KECIL
Pertama, kemenangan politis, ideologis dan strategis pemerintah terhadap Komunisme tahun 1965 dan segala dampak aturan yang dibuat selanjutnya di masa orde baru untuk mendukung sistem Top Down ideologi Pancasila menjadi ideologi Kekuasaan. Di mana pada era orde baru inilah potensi Islam ideologis dirangkul atau digalang untuk dibusukkan melalui operasi intelijen, sementara kalangan islam moderat dikungkung melalui partai dan ormas yang pimpinan dan kordinatornya merupakan hasil dropping penguasa. Dari sini kita melihat bahwa yang namanya problema internal dalam bangsa ini merupakan buah tangan dan ciptaan pemerintah sendiri. Belum puas dan tidak cukup dengan skenario domestik pemerintah orde baru menggunakan skenario internasional, yaitu melibatkan kelompok Islam ideologis ke dalam konflik agama di dunia internasional seperti Afghanistan, Kashmir, Palestina, Mindanau, Bosnia dan Chechnya setelah sebelumnya membuka pintu lebar-lebar masuknya paham Islam ideologis dan radikal dari timur tengah, yang hasilnya adalah munculnya kelompok-kelompok Islam ideologis dan radikal.
Frans Seda
Kedua, kebijakan pemerintah era reformasi yang membenturkan antara kalangan pesantren dan atau komunitas muslim awam dengan kalangan Katholik dan Protestan di kawasan Poso dan Maluku dengan membiarkan munculnya semangat di kalangan Katholik dan Protestan untuk mendirikan Negara Kristen Raya sekaligus membiarkan kalangan Katholik dan Protestan melakukan pembantaian massal terhadap kalangan muslim pondok pesantren di Poso dan di Ambon Maluku. Kebijakan pembiaran pemerintah terhadap konflik dan pemanfaatan momen tersebut untuk meningkatkan eskalasi konflik tersebut melalui fasilitasi peralatan tempur dengan melibatkan para veteran Mujahidin Afghan, Bosnia, Mindanau dan yang lain, meski melalui jual beli. Kesengajaan pihak yang berkompeten di bidang keamanan dalam memperjual belikan senjata-senjata organik untuk keperluan di daerah konflik yang jumlahnya mencapai puluhan ribu pucuk dan belum lagi hasil impor dari Mindanau selama konflik Maluku berlangsung.
Fabianus Tibo dkk : Pembantai santri Ponpes Walisongo
Ketiga, lemahnya kesadaran ummat Islam terhadap rekayasa pemerintah yang melancarkan sikap dan permusuhan, kebencian ideologis dan segala instrumen jebakan politis dan intelijen yang dilakukan secara sistematis menjadikan pemerintah begitu sangat leluasa memainkan peran dan fungsi alat keamanan, media dan birokrasinya untuk memecah belah, memporak porandakan dan menempatkan sebagian kalangan Islam dan Pesantren menjadi pihak yang pantas dan harus dituduh, patut dihukum dan menjadi musuh bersama bangsa. Padahal jika ummat Islam bermampuan untuk membongkar semua kebijakan jahatnya terhadap ummat Islam yang berwujud abuse of power dan kejahatan-kejahatan politik lainnya bisa dipublikasikan secara meluas dan sistematis, maka pemerintah pasti akan beringsut dengan sendirinya. Lemahnya kemampuan ummat Islam dalam menghadirkan Islam dengan segala budaya dan sistem pengelolaan kekuasaan dengan tanpa harus terjebak dengan provokasi maupun gangguan pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan Pesantren yang merupakan benteng pertahanan terakhir ummat Islam mulai menjadi target sasaran yang akan dihancurkan pemerintah.
SOLUSI
Pemerintah selaku penanggungjawab penyelenggaraan sistem Kebangsaan dan Kenegaraan yang selama ini melakukan kebijakan radikalisasi terhadap warga dan bangsanya sendiri, yang kemudian memusuhi serta menumpasnya seperti itu, harus sebagai pihak yang pertama dan memulai melakukan kebijakan deradikalisasi, pemerintah harus menghentikan niat dan kinerja buruknya memusuhi warga dan bangsanya sendiri.
Tanggungjawab pemerintah terhadap Islam sebagai agama dan terhadap ummat Islam sebagai warga harus tetap dalam kerangka melayani, melindungi dan bekerjasama dalam membangun serta mengisi kemerdekaan.
Pemerintah harus bertanggungjawab dalam mengisi dan menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan membuktikan makna kemerdekaan tersebut dalam bentuk dan wujud kemandirian dari bangsa yang betul-betul berdaulat atas seluruh wilayah tanah, air dan udara Indonesia, tidak bisa didikte, tidak menjadi boneka Negara lain.
Pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada ummat Islam untuk menghadirkan Islam dan segala kebaikannya yang rahmatan lil ‘alamin tanpa harus mencampuri dengan keinginan untuk mengarahkan paham serta penjelasan tentang Islam menjadi seperti apa. Islam adalah agama Allah, agama pemilik dan pencipta bumi Indonesia dan seluruh isi serta kekayaannya, Allah juga yang akan menghakimi para ciptaan-Nya yang bernama bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diamanatkan dan atas rahmat-Nya tersebut: sudahkah dikelola dengan baik atau malah dirusaknya?

Jumat, 09 September 2011

radikalisasi agama 1

MUI: Islam Tolak Radikalisasi Agama

Sabtu, 07 Agustus 2010 03:17 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikapnya atas tindakan radikalisasi agama. Menurut Ketua MUI Pusat, Ma'ruf Amin, hakikat ajaran Islam identik dengan kasih sayang dan kelembutan.

Oleh karena itu, secara tegas MUI menentang segala bentuk radikalisme agama dengan mengedepankan aksi kekerasan. “Penolakan tersebut tertuang dalam fatwa haram yang pernah dikeluarkan MUI tentang tindakan terorisme,” katanya di Jakarta, Jumat (6/7).

Ma'ruf menjelaskan, radikalisme muncul karena pemahaman terhadap teks-teks agama yang salah. Kesalahan menafsirkan dalil-dalil agama tersebut mengakibatkan pengamalan yang berujung pada gerakan yang salah pula.

Dia mencontohkan, seruan berjihad disalahartikan dengan melakukan kekerasan fisik tanpa melihat konteks waktu dan tempat yang berlaku saat ini. Dalam konteks Indonesia, jihad fisik tersebut tidak tepat karena kondisi Indonesia tidak sedang berperang. Sedangkan seruan berperang diperbolehkan bila untuk alasan membela diri.

Oleh karena itu, lanjut Ma'ruf, salah satu cara yang bisa ditempuh untuk membendung arus radikalisme adalah kembali ke jalan Islam (manhaj islami). Risalah yang dibawa Islam diperuntukkan bagi perbaikan masyarakat (risalah ishlahiyyah). Tetapi, jelasnya, cara dan metode yang digunakan tidak perlu dengan kekerasan dan radikal. “Ajaran Islam harus dipahami secara proporsional dan tidak ada paksaan di dalamnya,” ujar Ma'ruf.

Sebelumnya, Kamis (5/6), sebanyak 12 organisasi Islam di Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama yang menolak berbagai bentuk bentuk ekstremisme dan radikalisme yang menggunakan nama agama. Kedua belas ormas tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Al Irsyad Al-Islamiyah, Persis, Ar Robithoh Al Alawiyah, Al Ittihadiyah, Syarikat Islam Indonesia, Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Matlaul Anwar, Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), dan Perti.
Redaktur: Arif Supriyono
Reporter: cr1