Hallo>>>><<<<<< Mat Datang......(^_^)..... HAAA...HA... (^_^)

Don't forget the time

Sabtu, 10 September 2011

Indonesia Juga Alami Radikalisasi Ekonomi, Sosial & Budaya


Selasa, 5 Juli 2011 | 9:41
Din: KPK Jangan Terintervensi dalam Kasus Nazaruddin. Foto:ist Din: KPK Jangan Terintervensi dalam Kasus Nazaruddin. Foto:ist


SURABAYA - Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin, menyatakan radikalisasi di Indonesia bukan hanya ideologi, namun juga terjadi radikalisasi ekonomi, sosial, dan budaya.

"Radikalisasi sebagai dampak global tidak hanya ideologi, namun kita juga sok, misalnya kita menjalin kerja sama kawasan pasar ekonomi ASEAN-China (ACFTA). Padahal, hal itu membuat asing mudah masuk ke Indonesia," katanya di Surabaya, Senin.

Ia mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara dalam rembuk kebangsaan bertema "Membedah Paham Radikal, Memahami Nilai-Nilai Pancasila" yang digelar dalam rangka pelantikan pengurus Nasional Demokrat (Nasdem) se-Jatim.

Menurut dia, kawasan pasar ekonomi yang disepakati bersama itu tidak hanya membuat investor asing mudah masuk ke Indonesia, namun kalangan asing pun menjadi dominan dalam pasar Indonesia, apalagi UU menjamin.

"Dominasi asing di Indonesia ada dalam tiga bidang, yakni energi, perbankan, dan telekomunikasi dengan kepemilikan asing hingga di atas 50%. Hal itu membuat masyarakat Indonesia hanya menjadi konsumen," katanya.

Oleh karena itu, katanya, masyarakat hendaknya tidak hanya terjebak dengan radikalisasi ideologi, sebab radikalisasi di bidang ekonomi, sosial, dan budaya justru menjadi "lahan sumber" dari tumbuhnya radikalisasi ideologi.

"Untuk menangkal radikalisasi dalam segala bidang itu, maka kita harus kembali kepada Pancasila. Pancasila memang bukan Islam, tapi Pancasila itu Islami. Kalau bukan Pancasila, maka Indonesia akan menjadi salah satu dari 10 besar 'Negara Gagal' versi PBB," katanya.

Senada dengan itu, Rais Syuriah PBNU, KH A Hasyim Muzadi, menyatakan ada tiga alasan ulama menerima Pancasila yakni syariat, politis, dan sosial-budaya lain.

Alasan politis itu dikarenakan konstruksi negara Islam tidak tercermin dalam Piagam Jakarta, sedangkan alasan sosial adalah upaya untuk menjaga mereka akhirnya.

"Alasan terpenting adalah alasan kemaslahatan umat yakni agama menampung nilai-nilai, sebab pengakuan terhadap salah satu dari agama di Indonesia akan menyulut pertengkaran antar-suku, ras, dan antargolongan," katanya.

Program Deradikalisasi Dapat Menjadi Radikalisasi Baru

Program Deradikalisasi Dapat Menjadi Radikalisasi Baru



Intensitas persemaian demokrasi di negara-negara Muslim yang beberapa tahun terakhir ini diiringi dengan bermacam program yang mendukung, diantaranya program deradikalisasi . Program ini ditujukan untuk mengatasi segala hambatan demokrasi, yang diterjemahkan menjadi konsep-konsep Islam. Tentu saja, program deradikalisasi justru dikhawatirkan akan menjadi sebentuk radikalisasi baru.
Menyadari potensi kemunculan gerakan radikalisasi baru tersebut, maka pada hari Sabtu, 16 Juli 2011, MUI Solo bekerjasama dengan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggagas sebuah seminar bertajuk “Mencari Format Deradikalisasi & Peluncuran Buku Gerakan Deradikalisasi”.
Bertempat di Aula Pascasarjana UMS, forum ini sekaligus membedah buku yang menjadi antitesis berbagai makalah yang disajikan dalam pertemuan pada hari Minggu, 21 November 2010 di Hotel Novotel Solo. “Terbitnya buku ini merupakan sebentuk kekritisan MUI Solo atas makalah-makalah yang disajikan pada pertemuan 21 November 2010 yang diadakan oleh MUI Pusat dan FKPMN (Forum Komunikasi Media Nasional). Banyak sekali konsep yang harus dikoreki”, jelas Dr. Muinudinillah Basri, salah satu pembicara seminar. Lebih jauh lagi, seminar tersebut merupakan kritik evaluasi dan dekonstruksi gerakan deradikalisasi aqidah Muslimin di Indonesia.
Selain Dr. Muinudinillah, hadir pula sejumlah tokoh seperti Munarman, Prof. Dr. Nasrudin Baidan dari STAIN Surakarta, dan Prof. Dr. Irfan dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Jakarta.
Bermodalkan dokumen yang ditulis oleh RAND Corporation, sebuah lembaga riset di AS yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat “analisa objektif dan solutif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu di seluruh dunia”; Munarman mengkritisi penggunaan kata “radikal” atau “ekstrim” yang dinisbatkan kepada siapapun yang punya cita-cita ingin menegakkan atau melegalkan syariat slam sebagai hukum formal negara. “Dalam dokumennya RAND sudah jelas, bahwa walaupun konstitusional, siapapun yang bercita-cita kayak gitu (melegalkan syariat Islam sebagai hukum formal, red), kelompok manapun, bergelar apapun, berarti Islam ekstrimis”, kata Munarman.
Menyinggung akar penyebab timbulnya radikalisme, para pembicara dan audience sepakat bahwa radikalisme merupakan sebentuk reaksi terhadap ketidakadilan sistem politik internasional. Kebijakan politik luar negeri Amerika sarat dengan negasi terhadap konsep-konsep dalam Islam serta upaya-upaya umat Islam mengaplikasikan ajaran Islam, terutama cita-cita politik umat Islam.
“Pasca Perang Dingin, Amerika mencari musuh agar rezimnya tetap eksis. Setelah Soviet, umat Islam yang dijadikan musuh. Ini sudah menjadi teori umum”, kata salah seorang peserta. Pendapat tersebut diamini oleh Munarman. “Hantu” berwujud ‘Islam radikal” dan “teroris” kemudian dimunculkan. Sambil melakukan pembunuhan karakter semacam ini, Amerika juga melakukan pembunuhan fisik umat Islam di Irak dan Afganistan, atas nama global war on terror. “Victory against terrorism will occur through the sustained efforts of a global coalition dedicated to ridding the world of those who seek to destroy our freedom or way of life”, tukas Munarman mengutip salah satu tulisan dalam dokumen RAND Corporation.
Munarman tampak antusias menunjukkan seluruh dokumen yang membuktikan keterlibatan Amerika dalam setiap upaya deradikalisasi kepada Prof. Irfan, pembicara dari BNPT Jakarta. Program deradikalisasi dengan soft power approach yang digagas BNPT ditengarai Munarman mirip dengan program yang dirancang RAND Corporation. “Saya tidak asal bicara sebab saya punya bukti dokumen. Program BNPT ini mirip dengan program yang digagas pemerintah Amerika atas rekomendasi dari RAND Corporation”, tegas Munarman. Munarman mencontohkan pemerintah Singapura yang menggunakan soft power approach untuk menangani terorisme atas rekomendasi RAND.
Terlepas dari kecurigaan itu, Munarman berharap pihak BNPT bersedia mengambil sikap kritis terhadap agenda Amerika. Sedangkan Dr. Muin berharap jangan sampai bangsa Indonesia terjebak oleh politik adu domba yang dilakukan oleh bangsa lain dengan mengkonstruk berbagai istilah yang kemudian dilekatkan pada Islam.
Sehingga penggunaan istilah “radikal” segera menimbulkan bias makna stadium empat; begitu dilekatkan pada sesuatu hal, maka akan terjadi dentuman dekonstruksi makna yang dampak “ledakan”nya sangat eksplosif.
Thus,  istilah “Islam radikal” menimbulkan ambiguitas dan menisbatkan sesuatu yang bersifat antagonis kepada Islam.  Contoh ambiguitas makna “Islam radikal” ditunjukkan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta  yang pada tahun 2004 menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia”, yang di dalamnya dimuat kriteria “Islam radikal”, yakni (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak  secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
Dalam tulisannya “Radikalisme atau Ekstrimisme?”, Adian Husaini menggugat istilah tersebut :
“Apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna?  Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pada agamanya dan gigihnya mereka dalam memperjuangkan cita-cita Islam di Indonesia. Namun, mereka tetap berupaya memperjuangkannya secara konstitusional”.
Definisi “Islam radikal” dalam makalah yang dipresentasikan dalam pertemuan MUI Pusat dan FKPMN 21 November 2010 juga memuat sejumlah kesalahan fatal yang harus dikoreksi demi memenuhi perintah Allah SWT untuk selalu memberi peringatan (Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 55 dan surat Al-A’la ayat 9). MUI Solo menerbitkan buku “Kritik Evaluasi & Dekonstruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia”. Argumentasi yang disajikan dalam buku tersebut mampu menjawab seluruh bias makna serta pemahaman dalam membaca situasi dan posisi umat Islam saat ini. “Banyak kejadian yang menimpa umat islam khususnya dan masyarakat pada umumnya, diulas serta dicarikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai pendukung yang tidak tepat penempatannya. Yang akibatnya bilamana dipakai sebagai dasar untuk menegakkan “diagnosa” pasti salah, sehingga pemberian “terapi” justru lebih memperparah penyakitnya, bahkan sering berakibat fatal”, jelas Ketua MUI Kota Solo, Prof. Dr. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, Sp.PD-KR, FINASIM dalam kata pengantar untuk buku ini. 

penyebabb dan penyelesain

Disampaikan dalam diskusi publik yang diselenggarakan CDCC (CENTRE for DIALOGUE and COOPERATION among CIVILIZATIONS) di Jakarta, tanggal 12 Agustus 2011.
HANYA DIKARENAKAN BANYAK DIANTARA para pelaku pada aksi-aksi terorisme di Indonesia selama ini dilakukan oleh alumni pesantren hal tersebut ternyata semakin memperkuat asumsi mereka yang phobia terhadap Islam bahwa pesantren telah menjadi breeding ground (tempat pembiakan) radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Menggeneralisasi pesantren sebagai inkubator teroris tentu merupakan kesimpulan yang amat berlebihan dan sangat tidak arif. Buktinya, lebih banyak alumnus pesantren yang tidak menjadi teroris. Namun, bagi mereka yang pada dasarnya benci terhadap Islam sangkalan terhadap keterliban itu justru dianggap sebagai apologia, mengingat fakta itu jelas ada.
Kartosoewirjo dan Soekarno
Pertarungan antara Islam dan Nasionalis Pancasila yang digalang pemerintah sepertinya semakin menemukan bukti adanya upaya sistematis mengarah kepada pengkondisian terhadap pecah dan maraknya konflik horizontal yang sungguh sangat mengkhawatirkan. Pelibatan dan penggalangan komponen civil society secara massif yang dilakukan pemerintah tanpa malu-malu dalam menghadapi radikalisme -seperti yang sempat diamanatkan SBY kepada Said Agil Siraj (Ketum PB NU) dan disambut antusias oleh Banser dengan membuat Den 99- dinilai sebagai bentuk kelicikan pemerintah.
Upaya dan kebijakan pecah belah antara sesama ummat Islam oleh pemerintah seperti ini mengingatkan kita kepada Snouck Hurgronje di masa penjajahan Belanda, merusak Islam dan ummat Islam dari dalam. Kita akan maklum jika yang melakukan hal itu adalah manusia penjajah berkebangsaan Belanda. Tetapi jika yang melakukan upaya pecah belah, adu domba antara sesama warga Negara dan sesama agama bahkan antar agama tersebut adalah pemerintah NKRI sendiri, maka nyatalah jika pemerintah NKRI merupakan kepanjangan tangan penjajah Belanda yang kelakuannya lebih buruk dari Belanda.
Terorisme, radikalisme dan fundamentalisme yang dituduhkan pemerintah sebagai kekerasan atas nama agama (baca: Islam) dalam pandangan ummat Islam justru merupakan hasil kebijakan culas, keji dan jahat kaum Nasionalis Pancasila dalam bersaing mengisi kemerdekaan dan memenangkan ideologi politik.
Berdasarkan fakta sejarah di atas setidaknya terdapat tiga akar besar dan tiga akar kecil yang melatari dan sebagai penyebab terjadinya radikalisasi terhadap kalangan Islam dan pesantren yang merupakan pusat dan benteng pertahanan Islam. Yakni, adanya kebijakan pemerintah NKRI sejak awal mengisi kemerdekaan dalam menghadapi persaingan politik dan ideologi bangsa dengan dalih membangun karakter nasionalisme bangsa dengan segala konsekuensinya.
TIGA AKAR BESAR
Pertama, adanya penetapan ideologi Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang final, sehingga menutup rapat tentang kemungkinan adanya ideologi lain untuk boleh ada dan eksis, meski eksistensi ideologi lain tersebut merupakan realita, bahkan majority. Ideologi tersebut adalah Islam dan Sosialis Komunis.
Kedua, adanya penetapan kebijakan pemerintah terhadap pelaksanaan dan penerapan ideologi Pancasila atas bangsa yang dilaksanakan secara Top Down, sehingga mengharuskan pemerintah bersikap dan terjebak ke dalam perspektif negara diktator dan otoriter.
Ketiga, konsekuensi dari kebijakan sistem Top Down dalam menghadirkan dan menerapkan ideologi Pancasila berdampak pada langkah-langkah dan tindakan politis pemerintah, untuk menyalahgunakan kekuasaan, abuse of power yang dilakukan melalui operasi intelijen yang dirancang dalam rangka mengalahkan (provokasi, pembusukan dan assassination) terhadap potensi ideologi Islam dan yang lain, tentu dalam rangka memenangkan Penguasa.
TIGA AKAR KECIL
Pertama, kemenangan politis, ideologis dan strategis pemerintah terhadap Komunisme tahun 1965 dan segala dampak aturan yang dibuat selanjutnya di masa orde baru untuk mendukung sistem Top Down ideologi Pancasila menjadi ideologi Kekuasaan. Di mana pada era orde baru inilah potensi Islam ideologis dirangkul atau digalang untuk dibusukkan melalui operasi intelijen, sementara kalangan islam moderat dikungkung melalui partai dan ormas yang pimpinan dan kordinatornya merupakan hasil dropping penguasa. Dari sini kita melihat bahwa yang namanya problema internal dalam bangsa ini merupakan buah tangan dan ciptaan pemerintah sendiri. Belum puas dan tidak cukup dengan skenario domestik pemerintah orde baru menggunakan skenario internasional, yaitu melibatkan kelompok Islam ideologis ke dalam konflik agama di dunia internasional seperti Afghanistan, Kashmir, Palestina, Mindanau, Bosnia dan Chechnya setelah sebelumnya membuka pintu lebar-lebar masuknya paham Islam ideologis dan radikal dari timur tengah, yang hasilnya adalah munculnya kelompok-kelompok Islam ideologis dan radikal.
Frans Seda
Kedua, kebijakan pemerintah era reformasi yang membenturkan antara kalangan pesantren dan atau komunitas muslim awam dengan kalangan Katholik dan Protestan di kawasan Poso dan Maluku dengan membiarkan munculnya semangat di kalangan Katholik dan Protestan untuk mendirikan Negara Kristen Raya sekaligus membiarkan kalangan Katholik dan Protestan melakukan pembantaian massal terhadap kalangan muslim pondok pesantren di Poso dan di Ambon Maluku. Kebijakan pembiaran pemerintah terhadap konflik dan pemanfaatan momen tersebut untuk meningkatkan eskalasi konflik tersebut melalui fasilitasi peralatan tempur dengan melibatkan para veteran Mujahidin Afghan, Bosnia, Mindanau dan yang lain, meski melalui jual beli. Kesengajaan pihak yang berkompeten di bidang keamanan dalam memperjual belikan senjata-senjata organik untuk keperluan di daerah konflik yang jumlahnya mencapai puluhan ribu pucuk dan belum lagi hasil impor dari Mindanau selama konflik Maluku berlangsung.
Fabianus Tibo dkk : Pembantai santri Ponpes Walisongo
Ketiga, lemahnya kesadaran ummat Islam terhadap rekayasa pemerintah yang melancarkan sikap dan permusuhan, kebencian ideologis dan segala instrumen jebakan politis dan intelijen yang dilakukan secara sistematis menjadikan pemerintah begitu sangat leluasa memainkan peran dan fungsi alat keamanan, media dan birokrasinya untuk memecah belah, memporak porandakan dan menempatkan sebagian kalangan Islam dan Pesantren menjadi pihak yang pantas dan harus dituduh, patut dihukum dan menjadi musuh bersama bangsa. Padahal jika ummat Islam bermampuan untuk membongkar semua kebijakan jahatnya terhadap ummat Islam yang berwujud abuse of power dan kejahatan-kejahatan politik lainnya bisa dipublikasikan secara meluas dan sistematis, maka pemerintah pasti akan beringsut dengan sendirinya. Lemahnya kemampuan ummat Islam dalam menghadirkan Islam dengan segala budaya dan sistem pengelolaan kekuasaan dengan tanpa harus terjebak dengan provokasi maupun gangguan pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan Pesantren yang merupakan benteng pertahanan terakhir ummat Islam mulai menjadi target sasaran yang akan dihancurkan pemerintah.
SOLUSI
Pemerintah selaku penanggungjawab penyelenggaraan sistem Kebangsaan dan Kenegaraan yang selama ini melakukan kebijakan radikalisasi terhadap warga dan bangsanya sendiri, yang kemudian memusuhi serta menumpasnya seperti itu, harus sebagai pihak yang pertama dan memulai melakukan kebijakan deradikalisasi, pemerintah harus menghentikan niat dan kinerja buruknya memusuhi warga dan bangsanya sendiri.
Tanggungjawab pemerintah terhadap Islam sebagai agama dan terhadap ummat Islam sebagai warga harus tetap dalam kerangka melayani, melindungi dan bekerjasama dalam membangun serta mengisi kemerdekaan.
Pemerintah harus bertanggungjawab dalam mengisi dan menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan membuktikan makna kemerdekaan tersebut dalam bentuk dan wujud kemandirian dari bangsa yang betul-betul berdaulat atas seluruh wilayah tanah, air dan udara Indonesia, tidak bisa didikte, tidak menjadi boneka Negara lain.
Pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada ummat Islam untuk menghadirkan Islam dan segala kebaikannya yang rahmatan lil ‘alamin tanpa harus mencampuri dengan keinginan untuk mengarahkan paham serta penjelasan tentang Islam menjadi seperti apa. Islam adalah agama Allah, agama pemilik dan pencipta bumi Indonesia dan seluruh isi serta kekayaannya, Allah juga yang akan menghakimi para ciptaan-Nya yang bernama bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diamanatkan dan atas rahmat-Nya tersebut: sudahkah dikelola dengan baik atau malah dirusaknya?

Jumat, 09 September 2011

radikalisasi agama 1

MUI: Islam Tolak Radikalisasi Agama

Sabtu, 07 Agustus 2010 03:17 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikapnya atas tindakan radikalisasi agama. Menurut Ketua MUI Pusat, Ma'ruf Amin, hakikat ajaran Islam identik dengan kasih sayang dan kelembutan.

Oleh karena itu, secara tegas MUI menentang segala bentuk radikalisme agama dengan mengedepankan aksi kekerasan. “Penolakan tersebut tertuang dalam fatwa haram yang pernah dikeluarkan MUI tentang tindakan terorisme,” katanya di Jakarta, Jumat (6/7).

Ma'ruf menjelaskan, radikalisme muncul karena pemahaman terhadap teks-teks agama yang salah. Kesalahan menafsirkan dalil-dalil agama tersebut mengakibatkan pengamalan yang berujung pada gerakan yang salah pula.

Dia mencontohkan, seruan berjihad disalahartikan dengan melakukan kekerasan fisik tanpa melihat konteks waktu dan tempat yang berlaku saat ini. Dalam konteks Indonesia, jihad fisik tersebut tidak tepat karena kondisi Indonesia tidak sedang berperang. Sedangkan seruan berperang diperbolehkan bila untuk alasan membela diri.

Oleh karena itu, lanjut Ma'ruf, salah satu cara yang bisa ditempuh untuk membendung arus radikalisme adalah kembali ke jalan Islam (manhaj islami). Risalah yang dibawa Islam diperuntukkan bagi perbaikan masyarakat (risalah ishlahiyyah). Tetapi, jelasnya, cara dan metode yang digunakan tidak perlu dengan kekerasan dan radikal. “Ajaran Islam harus dipahami secara proporsional dan tidak ada paksaan di dalamnya,” ujar Ma'ruf.

Sebelumnya, Kamis (5/6), sebanyak 12 organisasi Islam di Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama yang menolak berbagai bentuk bentuk ekstremisme dan radikalisme yang menggunakan nama agama. Kedua belas ormas tersebut, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Al Irsyad Al-Islamiyah, Persis, Ar Robithoh Al Alawiyah, Al Ittihadiyah, Syarikat Islam Indonesia, Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Matlaul Anwar, Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), dan Perti.
Redaktur: Arif Supriyono
Reporter: cr1

Rabu, 15 Juni 2011

lomba

  • Lomba Menulis Fiksi Paling Bergengsi
  • LMCR ke 6 Tahun 2011
  • KEMBALI MENGUNDANG ANDA UNTUK BERPRESTASI
  • Raih Hadiah Total Rp 95 Juta
Syarat-Syarat Lomba
  1. Lomba ini terbuka untuk pelajar SLTP (Kategori A), SLTA (Kategori B)  dan Mahasiswa/Guru/Umum (Kategori C)  dari seluruh Indonesia atau mereka yang sedang studi/bertugas di luar negeri
  2. Lomba dibuka  21 April 2011 dan ditutup 21 September 2011 (stempel pos)
  3. Tema Cerita: Dunia remaja dan segala aspek serta aneka rona kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, kekecewaan,  harapan, kegagalan, cita-cita, persahabatan, pengalaman unik, petulangan  maupun perjuangan hidup)
  4. Judul bebas, tetapi mengacu pada tema Butir 3
  5. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul. Judul boleh menggunakan bahasa asing
  6. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar dan indah (literer). Bahasa daerah, bahasa prokem, bahasa gaul dan bahasa asing boleh digunakan untuk dialog (bukan narasi)
  7. Naskah yang dilombakan harus asli, bukan jiplakan dan belum pernah dipublikasikan
  8. Ketentuan naskah:
  1. Ditulis di atas kertas ukuran kuarto atau A-4, ditik berjarak spasi 1,5 spasi, huruf 12 font Times New Roman, margin kiri-kanan rata maksimal 3Cm
  2. Panjang naskah 6 (enam) – 10 (sepuluh) halaman, diprint 3 (tiga) rangkap (copy) disertai file dalam CD
  3. Naskah disertai sinopsis, biodata singkat pengarang dan foto dalam pose bebas ukuran postcard. Lampiran lainnya: Fotocopy KTP/SIM atau Kartu Pelajar/Mahasiswa  dan Kartu Keluarga (pilih salah satu)
  4. Setiap judul naskah yang dilombakan wajib dilampiri 1 (satu) kemasan LIP ICE jenis atau saja atau segel SELSUN jenis apa saja
  5. Naskah yang dilombakan beserta lampirannya dimasukkan ke dalam amplop tertutup, cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2011 sesuai dengan kategorinya pada bagian kanan atas amplop
  6. Naskah dan persyaratan (Butir e) dikirim ke alamat:
Panitia LMCR-2011 ROHTO-MENTHOLATUM  GOLDEN AWARD
Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau, Sentul City
Bogor 16810 – Jawa Barat
  1. Hasil lomba diumumkan  15 Oktober 2011 melalui website:www.rayakultura.net dan www.rohto.co.id
  2. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
  3. Naskah yang masuk ke Kotak Pos  Panitia LMCR-2011 menjadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarangnya
  4. Informasi lebih lanjut silakan e-mail ke: lmcr.kelima@gmail.com
Hasil Lomba dan Hadiah Untuk Para Pemenang
Pajak hadiah para pemenang ditanggung PT ROHTO Laboratories Indonesia

Kategori A (Pelajar SLTP)
  • Pemenang I  – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + ROHTO-MENTHOLATUM GOLDEN AWARD
  • Pemenang II  – Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • Pemenang III – Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 5 (lima) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 15 (lima belas) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • Sekolah Pemenang I, II dan III berhak mendapat 1 (satu) Unit TV
Kategori B (Pelajar SLTA)
  • Pemenang I – Uang Tunai Rp 5.000.000,- + ROHTO-MENTHOLATUM GOLDEN AWARD
  • Pemenang II – Uang Tunai  Rp 4.000.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • Pemenang III – Uang Tunai Rp 3.000.000,-  + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 5 (lima) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Uang Tunai  Rp 1.000.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 15 (lima belas) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dari PT ROHTO + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 50 (lima puluh) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • Sekolah Pemenang I, II dan III berhak mendapat 1(satu) Unit TV
Kategori C (Mahasiswa/Guru/Umum)
  • Pemenang I – Uang Tunai  Rp 7.000.000,- + ROHTO-MENTHOLATUM GOLDEN AWARD
  • Pemenang II – Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • Pemenang III – Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 20 (dua puluh)  Pemenang Harapan masing-masing mendapat Bingkisan dariPT ROHTO + Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
  • 200 (dua ratus) Pemenang Karya Favorit masing-masing mendapat Piagam ROHTO-MENTHOLATUM
Seluruh pemenang mendapat Antologi LMCR-2011 dan Buku TELAGA INSPIRASI MENULIS FIKSI karya Naning Pranoto
Sumber : www.rayakultura.net

Belajar Menulis Online, Belajar Bisnis Online dan Belajar Teknologi Online di Sekolah Online Visikata:
Proses Registrasi , Biaya dan Kontak

Senin, 09 Mei 2011

EEEE

Unsur Negara Sebagai Syarat Berdirinya Suatu Negara - Rakyat, Wilayah, Pemerintahan & Pengakuan


Thu, 10/07/2008 - 4:37am — godam64

Suatu negara apabila ingin diakui sebagai negara yang berdaulat secara internasional minimal harus memenuhi empat persyaratan faktor / unsur negara berikut di bawah ini :

1. Memiliki Wilayah

Untuk mendirikan suatu negara dengan kedaulatan penuh diperlukan wilayah yang terdiri atas darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan. Untuk wilayah yang jauh dari laut tidak memerlukan wilayah lautan. Di wilayah negara itulah rakyat akan menjalani kehidupannya sebagai warga negara dan pemerintah akan melaksanakan fungsinya.

2. Memiliki Rakyat

Diperlukan adanya kumpulan orang-orang yang tinggal di negara tersebut dan dipersatukan oleh suatu perasaan. Tanpa adanya orang sebagai rakyat pada suatu ngara maka pemerintahan tidak akan berjalan. Rakyat juga berfungsi sebagai sumber daya manusia untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Pemerintahan Yang Berdaulat

Pemerintahan yang baik terdiri atas susunan penyelengara negara seperti lembaga yudikatif, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lain sebagainya untuk menyelengarakan kegiatan pemerintahan yang berkedaulatan.

4. Pengakuan Dari Negara Lain

Untuk dapat disebut sebagai negara yang sah membutuhkan pengakuan negara lain baik secara de facto (nyata) maupun secara de yure. Sekelompok orang bisa saja mengakui suatu wilayah yang terdiri atas orang-orang dengan sistem pemerintahan, namun tidak akan disetujui dunia internasional jika didirikan di atas negara yang sudah ada.





JAKARTA, tribunkaltim.co.id - Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sudah pantas dikatakan sebagai usaha makar. Sebab, mereka memenuhi 2 dari 3 syarat pembentukan negara.





"2 dari 3 syarat negara sudah dipenuhi, mereka punya wilayah itu kan KW 1, KW 7, KW 9,mereka juga punya pemerintah, hanya saja mereka belum ada pengakuan dari luar negeri," ujar Pakar Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit saat acara diskusi di Soegeng Sarjadi Syndicate, Wisma Kodel, Jakarta, Sabtu (7/5/2011).



Menurut Arbi, dengan munculnya Gerakan Negara Islam Indonesia(NII) semestinya ke depan apabila ada organisasi yang dibentuk tidak memakai embel-embel nama negara di dalamnya, karena itu sudah tergolong upaya makar.



"Organisasi nggak boleh pakai istilah negara di dalamnya," jelasnya.



Sementara itu, ketika ditanyakan terkait aturan apa yang dapat digunakan untuk membubarkan Negara Islan Indonesia (NII), Arbi mengatakan hal itu bisa dilakukan dengan keberadaan sebuah Undang-undang.



"Pemerintah mellaui keppres, pengadilan lewat MA, tapi saya kira yang tepat adalah tingkat undang-undang khusus melarang negara Islam Indonesia," tandas Arbi.















Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.[rujukan?]

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh.[1] [2] Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[3]





















TENTANG NII [NEGARA ISLAM INDONESIA]



Negara Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi Negara Islam Indonesia adalah sebagai berikut :



PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih

Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah



Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia

MENYATAKAN : BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA



Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM ISLAM.



Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !

Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia

IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA



ttd



S.M. KARTOSOEWIRJO



Madinah - Indonesia,

12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.



Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk mengadakan perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam penyerahan kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.



Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.



Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majelis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam"



Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum menerima proklamasi kami"



Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia adalah anggota kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam.



Menurut salah seorang kapten yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau.



Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia

panji gumilang...

qwqa

Unsur Negara Sebagai Syarat Berdirinya Suatu Negara - Rakyat, Wilayah, Pemerintahan & Pengakuan


Thu, 10/07/2008 - 4:37am — godam64

Suatu negara apabila ingin diakui sebagai negara yang berdaulat secara internasional minimal harus memenuhi empat persyaratan faktor / unsur negara berikut di bawah ini :

1. Memiliki Wilayah

Untuk mendirikan suatu negara dengan kedaulatan penuh diperlukan wilayah yang terdiri atas darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan. Untuk wilayah yang jauh dari laut tidak memerlukan wilayah lautan. Di wilayah negara itulah rakyat akan menjalani kehidupannya sebagai warga negara dan pemerintah akan melaksanakan fungsinya.

2. Memiliki Rakyat

Diperlukan adanya kumpulan orang-orang yang tinggal di negara tersebut dan dipersatukan oleh suatu perasaan. Tanpa adanya orang sebagai rakyat pada suatu ngara maka pemerintahan tidak akan berjalan. Rakyat juga berfungsi sebagai sumber daya manusia untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Pemerintahan Yang Berdaulat

Pemerintahan yang baik terdiri atas susunan penyelengara negara seperti lembaga yudikatif, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lain sebagainya untuk menyelengarakan kegiatan pemerintahan yang berkedaulatan.

4. Pengakuan Dari Negara Lain

Untuk dapat disebut sebagai negara yang sah membutuhkan pengakuan negara lain baik secara de facto (nyata) maupun secara de yure. Sekelompok orang bisa saja mengakui suatu wilayah yang terdiri atas orang-orang dengan sistem pemerintahan, namun tidak akan disetujui dunia internasional jika didirikan di atas negara yang sudah ada.





JAKARTA, tribunkaltim.co.id - Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sudah pantas dikatakan sebagai usaha makar. Sebab, mereka memenuhi 2 dari 3 syarat pembentukan negara.





"2 dari 3 syarat negara sudah dipenuhi, mereka punya wilayah itu kan KW 1, KW 7, KW 9,mereka juga punya pemerintah, hanya saja mereka belum ada pengakuan dari luar negeri," ujar Pakar Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit saat acara diskusi di Soegeng Sarjadi Syndicate, Wisma Kodel, Jakarta, Sabtu (7/5/2011).



Menurut Arbi, dengan munculnya Gerakan Negara Islam Indonesia(NII) semestinya ke depan apabila ada organisasi yang dibentuk tidak memakai embel-embel nama negara di dalamnya, karena itu sudah tergolong upaya makar.



"Organisasi nggak boleh pakai istilah negara di dalamnya," jelasnya.



Sementara itu, ketika ditanyakan terkait aturan apa yang dapat digunakan untuk membubarkan Negara Islan Indonesia (NII), Arbi mengatakan hal itu bisa dilakukan dengan keberadaan sebuah Undang-undang.



"Pemerintah mellaui keppres, pengadilan lewat MA, tapi saya kira yang tepat adalah tingkat undang-undang khusus melarang negara Islam Indonesia," tandas Arbi.















Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.[rujukan?]

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh.[1] [2] Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[3]





















TENTANG NII [NEGARA ISLAM INDONESIA]



Negara Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi Negara Islam Indonesia adalah sebagai berikut :



PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih

Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah



Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia

MENYATAKAN : BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA



Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM ISLAM.



Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !

Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia

IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA



ttd



S.M. KARTOSOEWIRJO



Madinah - Indonesia,

12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.



Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk mengadakan perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam penyerahan kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.



Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.



Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majelis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam"



Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum menerima proklamasi kami"



Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia adalah anggota kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam.



Menurut salah seorang kapten yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau.



Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia

panji gumilang...