Hallo>>>><<<<<< Mat Datang......(^_^)..... HAAA...HA... (^_^)

Don't forget the time

Senin, 09 Mei 2011

EEEE

Unsur Negara Sebagai Syarat Berdirinya Suatu Negara - Rakyat, Wilayah, Pemerintahan & Pengakuan


Thu, 10/07/2008 - 4:37am — godam64

Suatu negara apabila ingin diakui sebagai negara yang berdaulat secara internasional minimal harus memenuhi empat persyaratan faktor / unsur negara berikut di bawah ini :

1. Memiliki Wilayah

Untuk mendirikan suatu negara dengan kedaulatan penuh diperlukan wilayah yang terdiri atas darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan. Untuk wilayah yang jauh dari laut tidak memerlukan wilayah lautan. Di wilayah negara itulah rakyat akan menjalani kehidupannya sebagai warga negara dan pemerintah akan melaksanakan fungsinya.

2. Memiliki Rakyat

Diperlukan adanya kumpulan orang-orang yang tinggal di negara tersebut dan dipersatukan oleh suatu perasaan. Tanpa adanya orang sebagai rakyat pada suatu ngara maka pemerintahan tidak akan berjalan. Rakyat juga berfungsi sebagai sumber daya manusia untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Pemerintahan Yang Berdaulat

Pemerintahan yang baik terdiri atas susunan penyelengara negara seperti lembaga yudikatif, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lain sebagainya untuk menyelengarakan kegiatan pemerintahan yang berkedaulatan.

4. Pengakuan Dari Negara Lain

Untuk dapat disebut sebagai negara yang sah membutuhkan pengakuan negara lain baik secara de facto (nyata) maupun secara de yure. Sekelompok orang bisa saja mengakui suatu wilayah yang terdiri atas orang-orang dengan sistem pemerintahan, namun tidak akan disetujui dunia internasional jika didirikan di atas negara yang sudah ada.





JAKARTA, tribunkaltim.co.id - Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sudah pantas dikatakan sebagai usaha makar. Sebab, mereka memenuhi 2 dari 3 syarat pembentukan negara.





"2 dari 3 syarat negara sudah dipenuhi, mereka punya wilayah itu kan KW 1, KW 7, KW 9,mereka juga punya pemerintah, hanya saja mereka belum ada pengakuan dari luar negeri," ujar Pakar Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit saat acara diskusi di Soegeng Sarjadi Syndicate, Wisma Kodel, Jakarta, Sabtu (7/5/2011).



Menurut Arbi, dengan munculnya Gerakan Negara Islam Indonesia(NII) semestinya ke depan apabila ada organisasi yang dibentuk tidak memakai embel-embel nama negara di dalamnya, karena itu sudah tergolong upaya makar.



"Organisasi nggak boleh pakai istilah negara di dalamnya," jelasnya.



Sementara itu, ketika ditanyakan terkait aturan apa yang dapat digunakan untuk membubarkan Negara Islan Indonesia (NII), Arbi mengatakan hal itu bisa dilakukan dengan keberadaan sebuah Undang-undang.



"Pemerintah mellaui keppres, pengadilan lewat MA, tapi saya kira yang tepat adalah tingkat undang-undang khusus melarang negara Islam Indonesia," tandas Arbi.















Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.[rujukan?]

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh.[1] [2] Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[3]





















TENTANG NII [NEGARA ISLAM INDONESIA]



Negara Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi Negara Islam Indonesia adalah sebagai berikut :



PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih

Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah



Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia

MENYATAKAN : BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA



Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM ISLAM.



Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !

Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia

IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA



ttd



S.M. KARTOSOEWIRJO



Madinah - Indonesia,

12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.



Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk mengadakan perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam penyerahan kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.



Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.



Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majelis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam"



Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum menerima proklamasi kami"



Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia adalah anggota kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam.



Menurut salah seorang kapten yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau.



Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia

panji gumilang...

qwqa

Unsur Negara Sebagai Syarat Berdirinya Suatu Negara - Rakyat, Wilayah, Pemerintahan & Pengakuan


Thu, 10/07/2008 - 4:37am — godam64

Suatu negara apabila ingin diakui sebagai negara yang berdaulat secara internasional minimal harus memenuhi empat persyaratan faktor / unsur negara berikut di bawah ini :

1. Memiliki Wilayah

Untuk mendirikan suatu negara dengan kedaulatan penuh diperlukan wilayah yang terdiri atas darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan. Untuk wilayah yang jauh dari laut tidak memerlukan wilayah lautan. Di wilayah negara itulah rakyat akan menjalani kehidupannya sebagai warga negara dan pemerintah akan melaksanakan fungsinya.

2. Memiliki Rakyat

Diperlukan adanya kumpulan orang-orang yang tinggal di negara tersebut dan dipersatukan oleh suatu perasaan. Tanpa adanya orang sebagai rakyat pada suatu ngara maka pemerintahan tidak akan berjalan. Rakyat juga berfungsi sebagai sumber daya manusia untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Pemerintahan Yang Berdaulat

Pemerintahan yang baik terdiri atas susunan penyelengara negara seperti lembaga yudikatif, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lain sebagainya untuk menyelengarakan kegiatan pemerintahan yang berkedaulatan.

4. Pengakuan Dari Negara Lain

Untuk dapat disebut sebagai negara yang sah membutuhkan pengakuan negara lain baik secara de facto (nyata) maupun secara de yure. Sekelompok orang bisa saja mengakui suatu wilayah yang terdiri atas orang-orang dengan sistem pemerintahan, namun tidak akan disetujui dunia internasional jika didirikan di atas negara yang sudah ada.





JAKARTA, tribunkaltim.co.id - Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sudah pantas dikatakan sebagai usaha makar. Sebab, mereka memenuhi 2 dari 3 syarat pembentukan negara.





"2 dari 3 syarat negara sudah dipenuhi, mereka punya wilayah itu kan KW 1, KW 7, KW 9,mereka juga punya pemerintah, hanya saja mereka belum ada pengakuan dari luar negeri," ujar Pakar Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit saat acara diskusi di Soegeng Sarjadi Syndicate, Wisma Kodel, Jakarta, Sabtu (7/5/2011).



Menurut Arbi, dengan munculnya Gerakan Negara Islam Indonesia(NII) semestinya ke depan apabila ada organisasi yang dibentuk tidak memakai embel-embel nama negara di dalamnya, karena itu sudah tergolong upaya makar.



"Organisasi nggak boleh pakai istilah negara di dalamnya," jelasnya.



Sementara itu, ketika ditanyakan terkait aturan apa yang dapat digunakan untuk membubarkan Negara Islan Indonesia (NII), Arbi mengatakan hal itu bisa dilakukan dengan keberadaan sebuah Undang-undang.



"Pemerintah mellaui keppres, pengadilan lewat MA, tapi saya kira yang tepat adalah tingkat undang-undang khusus melarang negara Islam Indonesia," tandas Arbi.















Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.[rujukan?]

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh.[1] [2] Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[3]





















TENTANG NII [NEGARA ISLAM INDONESIA]



Negara Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi Negara Islam Indonesia adalah sebagai berikut :



PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih

Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah



Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia

MENYATAKAN : BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA



Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM ISLAM.



Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !

Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia

IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA



ttd



S.M. KARTOSOEWIRJO



Madinah - Indonesia,

12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.



Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk mengadakan perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam penyerahan kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.



Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.



Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majelis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam"



Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum menerima proklamasi kami"



Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia adalah anggota kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam.



Menurut salah seorang kapten yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau.



Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia

panji gumilang...

qwqa

Unsur Negara Sebagai Syarat Berdirinya Suatu Negara - Rakyat, Wilayah, Pemerintahan & Pengakuan


Thu, 10/07/2008 - 4:37am — godam64

Suatu negara apabila ingin diakui sebagai negara yang berdaulat secara internasional minimal harus memenuhi empat persyaratan faktor / unsur negara berikut di bawah ini :

1. Memiliki Wilayah

Untuk mendirikan suatu negara dengan kedaulatan penuh diperlukan wilayah yang terdiri atas darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan. Untuk wilayah yang jauh dari laut tidak memerlukan wilayah lautan. Di wilayah negara itulah rakyat akan menjalani kehidupannya sebagai warga negara dan pemerintah akan melaksanakan fungsinya.

2. Memiliki Rakyat

Diperlukan adanya kumpulan orang-orang yang tinggal di negara tersebut dan dipersatukan oleh suatu perasaan. Tanpa adanya orang sebagai rakyat pada suatu ngara maka pemerintahan tidak akan berjalan. Rakyat juga berfungsi sebagai sumber daya manusia untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

3. Pemerintahan Yang Berdaulat

Pemerintahan yang baik terdiri atas susunan penyelengara negara seperti lembaga yudikatif, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lain sebagainya untuk menyelengarakan kegiatan pemerintahan yang berkedaulatan.

4. Pengakuan Dari Negara Lain

Untuk dapat disebut sebagai negara yang sah membutuhkan pengakuan negara lain baik secara de facto (nyata) maupun secara de yure. Sekelompok orang bisa saja mengakui suatu wilayah yang terdiri atas orang-orang dengan sistem pemerintahan, namun tidak akan disetujui dunia internasional jika didirikan di atas negara yang sudah ada.





JAKARTA, tribunkaltim.co.id - Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sudah pantas dikatakan sebagai usaha makar. Sebab, mereka memenuhi 2 dari 3 syarat pembentukan negara.





"2 dari 3 syarat negara sudah dipenuhi, mereka punya wilayah itu kan KW 1, KW 7, KW 9,mereka juga punya pemerintah, hanya saja mereka belum ada pengakuan dari luar negeri," ujar Pakar Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit saat acara diskusi di Soegeng Sarjadi Syndicate, Wisma Kodel, Jakarta, Sabtu (7/5/2011).



Menurut Arbi, dengan munculnya Gerakan Negara Islam Indonesia(NII) semestinya ke depan apabila ada organisasi yang dibentuk tidak memakai embel-embel nama negara di dalamnya, karena itu sudah tergolong upaya makar.



"Organisasi nggak boleh pakai istilah negara di dalamnya," jelasnya.



Sementara itu, ketika ditanyakan terkait aturan apa yang dapat digunakan untuk membubarkan Negara Islan Indonesia (NII), Arbi mengatakan hal itu bisa dilakukan dengan keberadaan sebuah Undang-undang.



"Pemerintah mellaui keppres, pengadilan lewat MA, tapi saya kira yang tepat adalah tingkat undang-undang khusus melarang negara Islam Indonesia," tandas Arbi.















Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.[rujukan?]

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh.[1] [2] Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[3]





















TENTANG NII [NEGARA ISLAM INDONESIA]



Negara Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi Negara Islam Indonesia adalah sebagai berikut :



PROKLAMASI BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih

Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah



Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia

MENYATAKAN : BERDIRINYA NEGARA ISLAM INDONESIA



Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM ISLAM.



Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !

Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia

IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA



ttd



S.M. KARTOSOEWIRJO



Madinah - Indonesia,

12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.



Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk mengadakan perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam penyerahan kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.



Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.



Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majelis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam"



Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum menerima proklamasi kami"



Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia adalah anggota kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam.



Menurut salah seorang kapten yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau.



Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia

panji gumilang...

68888888888888888888
NKRI yang merdeka sejak tahun 1945 ini sampai sekarang masih terus diuji oleh berbagai cobaan yang bermacam-macam. Mulai dari aksi “abnormal” para wakil rakyat dengan tindakan korupsinya sampai kegiatan cuci otak atau brainwash yang sedang marak dilakukan oleh para teroris. Walaupun masalah terus datang bertubi-tubi, banyak juga wakil-wakil rakyat kita yang tidak menyadari solusi pemecahan masalahnya. Mereka terlalu ribut dengan anggaran demi anggaran yang harus mereka “perjuangkan” untuk mendapat “jatah” lebih untuk plesir ke luar negeri dengan kedok STUDI BANDING.Hal tersebut membuat mereka lupa akan rakyatnya yang sangaaaaaaaaaaat membutuhkan bantuan mereka. Kalau dalam beberapa berita akhir-akhir ini banyak yang menyatakan bahwa pemerintah membiarkan pertumbuhan NII itu tidak sepenuhnya benar menurut saya. NII bisa tumbuh karena sifat nasionalisme yang semakin menipis di antara anak-anak muda penerus generasi bangsa ini. Intinya mereka tidak sepenuhnya memahami negaranya sendiri.
Pencucian otak yang dilakukan oleh para teroris itu muncul karena salah satu dasar dari mental anak bangsa ini ada yang hilang. Yaitu, pendidikan mengenai kebudayaan dan keragaman bangsa Indonesia. Kalau mereka sudah di didik matang mengenai hal ini, mereka akan semakin mengerti dan memahami arti sebenarnya dari bhineka tunggal ika yang dianut oleh NKRI. Paling tidak jika prinsip dasar tersebut sudah kuat, perkembangan NII akan lambat dan bahkan kalaupun tumbuh, akan sangat mudah untuk membasmi NII.
NII ada bukan untuk ditakuti dan diperbincangkan. Tindakan nyata kita sangat diperlukan untuk mengatasi perkembangan negara antah-berantah ini. Kita, rakyat Indonesia bersama para wakil rakyatnya yang di DPR dan MPR pasti bisa menuntaskan perkembangan NII jika kita bisa bekerja sama sebagai satu tim yang baik. NII adalah bahaya kambuhan (atau bisa dibilang residivis) yang bisa tumbuh kapan saja dan dimana saja. Tergantung kita mau atau tidak membasminya. Hanya dengan satu prinsip mudah. Tumbuhkan lagi kecintaan terhadap NKRI dengan memunculkan semakin banyak fasilitas-fasilitas pendidikan mengenai Indonesia di sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, hingga Perguruan Tinggi.
Kibarkanlah terus Sang Merah Putih di Bumi Indonesia.
Salam Selalu Kenthir Bersemi
***ttp://regional.kompasiana.com/2011/05/07/pendidikan-sebagai-pilar-utama/

Kategori:
Buku-buku
Jenis
Buku Anak-anak
Penulis:
Oleh : M. Shiddiq al-Jawi
Makna Bahasa Bughat

Bughat بُغَاةٌ ) ( adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ , yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kataبَغى (fi’il madhi),َيبْغِيُ (fi’il mudhari’), danبُغْيَةً - بَغْيًا بُغَاءً - (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong) (Anis, 1972:64-65, Munawwir, 1984:65 & 106, Ali, 1998:341).

Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknyaاَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Ali, 1998:295, Anis, 1972:65).

Makna Syar’i Bughat

Dalam definisi syar’i --yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] (pemberontakan).

Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah (1996:673-674), dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh Ali Belhaj (1984:242-243), dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)



A. Menurut Ulama Hanafiyah.


... البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق

( حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )


"Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).
B. Menurut Ulama Malikiyah


... البغي ... الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا ...

... البغاة ... فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه

( شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)


“Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…

Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
C. Menurut Ulama Syafi’iyah


... البغاة ... المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة

لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار

ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )


“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).


... هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع

( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )


“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).


Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)
D. Menurut Ulama Hanabilah


... البغاة ... الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع

( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )


“Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam --walaupun ia bukan imam yang adil-- dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).

E. Menurut Ulama Zhahiriyah


... بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود

( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )


“Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).


... البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا

( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 - 98 )


“Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah


... الباغي ... من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام

( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )


“Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).


Definisi Yang Rajih

Dari definisi-definisi tersebut, manakah definisi yang kuat (rajih)? Untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang teliti. Dengan meneliti definisi-definisi di atas, nampak bahwa perbedaan yang ada disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat disebut bughat (‘Audah, 1996:674). Misalnya, menurut ulama Syafi’iyah, syarat bughat haruslah karena ta`wil yang fasid, yaitu mempunyai penafsiran yang salah terhadap nash (Asna Al-Mathalib, IV/111). Sementara ulama Zhahiriyah, syarat bughat bisa saja karena ta`wil yang salah atau karena alasan duniawi, misalnya memperoleh harta benda atau jabatan (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

Sedangkan syarat itu sendiri, dalam ushul fiqih, maksudnya adalah syarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat ‘aadiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, I/186). Jadi syarat itu sebenarnya merupakan hukum syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i, seperti wudhu --sebagai salah satu syarat shalat-- berdalil surah Al-Maidah ayat 6. Maka, untuk melihat definisi yang rajih, atau untuk membuat definisi yang jami`an (mencakup unsur-unsur yang harus ada dalam definisi) dan mani’an (mencegah unsur-unsur yang tak boleh ada dalam definisi), kita harus melihat dalil-dalil syar’i yang mendasari terbentuknya definisi bughat.

Dalil-dalil pembahasan bughat, adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Al-Maliki, 1990:79), dan juga hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam (khalifah). Di antara ulama ada yang mengumpulkan dalil-dalil hadits ini dalam bab khusus, misalnya Imam Ash Shan’ani mengumpulkannya dalam bab Qitaal Ahl Al-Baghiy dalam kitabnya Subulus Salam III hal. 257-261. Abdul Qadir Audah mengumpulkannya pada aliena (faqrah) ke-659 dalam An-Nushush Al-Waridah fi Al-Baghiy dalam kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy (Audah, 1992:671-672). Di samping nash-nash syara’, pendefinisian bughat juga dapat mempertimbangkan data tarikh (sejarah) shahabat yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah Khalifah Ali bi Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Imam Asy-Syafi’i –rahimahullahu-- berkata,”Saya mengambil [hukum] tentang perang bughat dari Imam Ali radhiyallahu ‘anhu.” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1999:310). Dalam hal ini telah terdapat Ijma’ Shahabat mengenai wajibnya memerangi bughat (Al-Anshari, t.t. :153; Al-Husaini, t.t.:197).

Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu :

1.

pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
2.

adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
3.

mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Al-Maliki, 1990:79; Haikal, 1996:63).

Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :


وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ...


“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ...” (QS Al-Hujurat [49]:9)


Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”

Jadi, dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah keumuman ayat tersebut (QS 49:9). Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :


... مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ... ( روه مسلم عن أبي هريرة )


“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).

Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya...” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676).

Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain. Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat Subulus Salam, III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh Al-Qadir, II/336).

Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.

Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat:9) pada lafazh وَإِنْ طَائِفَتَان ...ِ (jika dua golongan...). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan,”...jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.

Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah (boleh dibaca mana’ah) memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang bermaksud [buruk] kepadanya (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 888).

Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :


مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )


“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143. Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).

Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.

Berdasarkan semua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa definisi bughat adalah kelompok yang padanya terpenuhi 3 (tiga) syarat secara bersamaan, yaitu : (1) melakukan pemberontakan kepada khalifah/imam, (2) mempunyai kekuatan yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi, dan (3) mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Haikal, 1996:63).

Atas dasar syarat-syarat itulah, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, dalam kitabnya Nizham Al-Uqubat, hal. 79, mendefinisikan bughat sebagai berikut :


... هم الذين خرجوا على الدولة الإسلامية , و لهم شوكة و منعة , أي هم الذين شقوا عصا الطاعة على الدولة , و شهروا في وجهها السلاح , و أعلنوا حربا عليها ...


“Orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara.” (Al-Maliki, 1990:79).

Lalu, bagaimana dengan syarat-syarat lain tentang bughat seperti adanya ta`wil yang menjadi pendorong pemberontakan (pendapat ulama Syafi’iyyah), atau syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm) ? Muhammad Khayr Haikal dalam Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (I/64) mengatakan bahwa ayat bughat (QS Al-Hujurat:9) tidak menyebutkan syarat tersebut (ta`wil). Sebab, menurut beliau, kata تَبْغِيْ(golongan yang menganiaya) dalam ayat tersebut, bersifat mutlak, tidak bersyarat (muqayyad) dengan adanya ta`wil yang masih dibolehkan (ta`wil sa`igh). Maka, kemutlakan ayat tersebut tak membedakan apakah kelompok bughat memberontak atas dasar ta`wil dalam paham agama, ataukah karena alasan duniawi, seperti hendak memperoleh harta dan tahta.

Hal yang sama dapat juga dikatakan untuk syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm). Syarat ini tidak tepat, sebab ayat bughat bersifat mutlak, tidak ada persyaratan bahwa bughat adalah yang memberontak kepada imam yang adil. Selain itu, hadits-hadits Nabi SAW tentang bughat juga bersifat mutlak (imam adil dan fasik), bukan muqayyad (hanya imam adil saja). Karena itulah, pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah apa yang yang dinyatakan Syaikh Abdurrahman Al-Maliki :


... ولا فرق في ذلك بين أن يخرجوا على خليفة عادل , أو خليفة ظالم , وسواء خرجوا على تأويل في الدين , أو أرادوا لأنفسهم دنيا , فانهم كلهم بغاة ما داموا شهروا السيف في وجه سلطان الإسلام .


”Tidak ada beda apakah [golongan bughat itu] memberontak kepada khalifah yang adil atau khalifah yang zalim, baik karena alasan ta`wil dalam agama maupun menghendaki dunia (seperti harta atau jabatan). Semuanya adalah bughat, selama mereka mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Islam (sulthan al-islam).” (Al-Maliki, 1990:79) [ ]




DAFTAR PUSTAKA


Al-Anshari, Zakariya. Tanpa Tahun. Fathul Wahhab. Juz II. (Indonesia : Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah).


Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cet. Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Al-Husaini, Taqiyuddin. Tanpa Tahun. Kifayatul Akhyar. Juz II. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Ummah)


Ali, Attabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Cet. Ke-3. (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum PP Krapyak)


Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. Ke-2. (Kairo : Darul Ma’arif)


As-Suyuthi, Jalaluddin & Jalaludin Al-Mahalli. 1991. Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim (Al-Jalalain). Cetakan Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. (Bandung : Maktabah Dahlan)


Asy-Syatibi, Imam. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. (Beirut : Darul Fikr).


Asy-Syirazi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muhadzdzab. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Audah, Abdul Qadir. 1996. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Cet. Ke-11. (Beirut : Muassah Ar-Risalah)


Belhaj, Syaikh Ali. 1994. Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam. (Beirut : Darul ‘Uqab)


Haikal, Muhammad Khair. 1996. Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Bayariq)


Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).
***http://kangady.multiply.com/reviews/item/43
888888888888

Minggu, 08 Mei 2011

bughat

Kategori:Buku-buku
JenisBuku Anak-anak
Penulis:Oleh : M. Shiddiq al-Jawi
Makna Bahasa Bughat

Bughat بُغَاةٌ ) ( adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ , yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kataبَغى (fi’il madhi),َيبْغِيُ (fi’il mudhari’), danبُغْيَةً - بَغْيًا بُغَاءً - (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong) (Anis, 1972:64-65, Munawwir, 1984:65 & 106, Ali, 1998:341).

Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknyaاَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Ali, 1998:295, Anis, 1972:65).

Makna Syar’i Bughat

Dalam definisi syar’i --yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] (pemberontakan).

Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah (1996:673-674), dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh Ali Belhaj (1984:242-243), dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)



A. Menurut Ulama Hanafiyah.


... البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق

( حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )


"Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).
B. Menurut Ulama Malikiyah


... البغي ... الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا ...

... البغاة ... فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه

( شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)


“Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…

Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
C. Menurut Ulama Syafi’iyah


... البغاة ... المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة

لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار

ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )


“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).


... هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع

( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )


“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).


Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)
D. Menurut Ulama Hanabilah


... البغاة ... الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع

( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )


“Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam --walaupun ia bukan imam yang adil-- dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).

E. Menurut Ulama Zhahiriyah


... بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود

( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )


“Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).


... البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا

( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 - 98 )


“Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah


... الباغي ... من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام

( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )


“Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).


Definisi Yang Rajih

Dari definisi-definisi tersebut, manakah definisi yang kuat (rajih)? Untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang teliti. Dengan meneliti definisi-definisi di atas, nampak bahwa perbedaan yang ada disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat disebut bughat (‘Audah, 1996:674). Misalnya, menurut ulama Syafi’iyah, syarat bughat haruslah karena ta`wil yang fasid, yaitu mempunyai penafsiran yang salah terhadap nash (Asna Al-Mathalib, IV/111). Sementara ulama Zhahiriyah, syarat bughat bisa saja karena ta`wil yang salah atau karena alasan duniawi, misalnya memperoleh harta benda atau jabatan (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

Sedangkan syarat itu sendiri, dalam ushul fiqih, maksudnya adalah syarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat ‘aadiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, I/186). Jadi syarat itu sebenarnya merupakan hukum syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i, seperti wudhu --sebagai salah satu syarat shalat-- berdalil surah Al-Maidah ayat 6. Maka, untuk melihat definisi yang rajih, atau untuk membuat definisi yang jami`an (mencakup unsur-unsur yang harus ada dalam definisi) dan mani’an (mencegah unsur-unsur yang tak boleh ada dalam definisi), kita harus melihat dalil-dalil syar’i yang mendasari terbentuknya definisi bughat.

Dalil-dalil pembahasan bughat, adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Al-Maliki, 1990:79), dan juga hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam (khalifah). Di antara ulama ada yang mengumpulkan dalil-dalil hadits ini dalam bab khusus, misalnya Imam Ash Shan’ani mengumpulkannya dalam bab Qitaal Ahl Al-Baghiy dalam kitabnya Subulus Salam III hal. 257-261. Abdul Qadir Audah mengumpulkannya pada aliena (faqrah) ke-659 dalam An-Nushush Al-Waridah fi Al-Baghiy dalam kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy (Audah, 1992:671-672). Di samping nash-nash syara’, pendefinisian bughat juga dapat mempertimbangkan data tarikh (sejarah) shahabat yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah Khalifah Ali bi Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Imam Asy-Syafi’i –rahimahullahu-- berkata,”Saya mengambil [hukum] tentang perang bughat dari Imam Ali radhiyallahu ‘anhu.” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1999:310). Dalam hal ini telah terdapat Ijma’ Shahabat mengenai wajibnya memerangi bughat (Al-Anshari, t.t. :153; Al-Husaini, t.t.:197).

Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu :

1.

pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
2.

adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
3.

mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Al-Maliki, 1990:79; Haikal, 1996:63).

Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :


وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ...


“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ...” (QS Al-Hujurat [49]:9)


Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”

Jadi, dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah keumuman ayat tersebut (QS 49:9). Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :


... مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ... ( روه مسلم عن أبي هريرة )


“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).

Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya...” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676).

Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain. Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat Subulus Salam, III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh Al-Qadir, II/336).

Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.

Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat:9) pada lafazh وَإِنْ طَائِفَتَان ...ِ (jika dua golongan...). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan,”...jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.

Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah (boleh dibaca mana’ah) memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang bermaksud [buruk] kepadanya (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 888).

Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :


مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )


“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143. Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).

Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.

Berdasarkan semua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa definisi bughat adalah kelompok yang padanya terpenuhi 3 (tiga) syarat secara bersamaan, yaitu : (1) melakukan pemberontakan kepada khalifah/imam, (2) mempunyai kekuatan yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi, dan (3) mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Haikal, 1996:63).

Atas dasar syarat-syarat itulah, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, dalam kitabnya Nizham Al-Uqubat, hal. 79, mendefinisikan bughat sebagai berikut :


... هم الذين خرجوا على الدولة الإسلامية , و لهم شوكة و منعة , أي هم الذين شقوا عصا الطاعة على الدولة , و شهروا في وجهها السلاح , و أعلنوا حربا عليها ...


“Orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara.” (Al-Maliki, 1990:79).

Lalu, bagaimana dengan syarat-syarat lain tentang bughat seperti adanya ta`wil yang menjadi pendorong pemberontakan (pendapat ulama Syafi’iyyah), atau syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm) ? Muhammad Khayr Haikal dalam Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (I/64) mengatakan bahwa ayat bughat (QS Al-Hujurat:9) tidak menyebutkan syarat tersebut (ta`wil). Sebab, menurut beliau, kata تَبْغِيْ(golongan yang menganiaya) dalam ayat tersebut, bersifat mutlak, tidak bersyarat (muqayyad) dengan adanya ta`wil yang masih dibolehkan (ta`wil sa`igh). Maka, kemutlakan ayat tersebut tak membedakan apakah kelompok bughat memberontak atas dasar ta`wil dalam paham agama, ataukah karena alasan duniawi, seperti hendak memperoleh harta dan tahta.

Hal yang sama dapat juga dikatakan untuk syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm). Syarat ini tidak tepat, sebab ayat bughat bersifat mutlak, tidak ada persyaratan bahwa bughat adalah yang memberontak kepada imam yang adil. Selain itu, hadits-hadits Nabi SAW tentang bughat juga bersifat mutlak (imam adil dan fasik), bukan muqayyad (hanya imam adil saja). Karena itulah, pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah apa yang yang dinyatakan Syaikh Abdurrahman Al-Maliki :


... ولا فرق في ذلك بين أن يخرجوا على خليفة عادل , أو خليفة ظالم , وسواء خرجوا على تأويل في الدين , أو أرادوا لأنفسهم دنيا , فانهم كلهم بغاة ما داموا شهروا السيف في وجه سلطان الإسلام .


”Tidak ada beda apakah [golongan bughat itu] memberontak kepada khalifah yang adil atau khalifah yang zalim, baik karena alasan ta`wil dalam agama maupun menghendaki dunia (seperti harta atau jabatan). Semuanya adalah bughat, selama mereka mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Islam (sulthan al-islam).” (Al-Maliki, 1990:79) [ ]




DAFTAR PUSTAKA


Al-Anshari, Zakariya. Tanpa Tahun. Fathul Wahhab. Juz II. (Indonesia : Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah).


Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cet. Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Al-Husaini, Taqiyuddin. Tanpa Tahun. Kifayatul Akhyar. Juz II. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Ummah)


Ali, Attabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Cet. Ke-3. (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum PP Krapyak)


Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. Ke-2. (Kairo : Darul Ma’arif)


As-Suyuthi, Jalaluddin & Jalaludin Al-Mahalli. 1991. Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim (Al-Jalalain). Cetakan Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. (Bandung : Maktabah Dahlan)


Asy-Syatibi, Imam. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. (Beirut : Darul Fikr).


Asy-Syirazi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muhadzdzab. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Audah, Abdul Qadir. 1996. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Cet. Ke-11. (Beirut : Muassah Ar-Risalah)


Belhaj, Syaikh Ali. 1994. Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam. (Beirut : Darul ‘Uqab)


Haikal, Muhammad Khair. 1996. Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Bayariq)


Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).