Hallo>>>><<<<<< Mat Datang......(^_^)..... HAAA...HA... (^_^)

Don't forget the time

Senin, 09 Mei 2011


68888888888888888888
NKRI yang merdeka sejak tahun 1945 ini sampai sekarang masih terus diuji oleh berbagai cobaan yang bermacam-macam. Mulai dari aksi “abnormal” para wakil rakyat dengan tindakan korupsinya sampai kegiatan cuci otak atau brainwash yang sedang marak dilakukan oleh para teroris. Walaupun masalah terus datang bertubi-tubi, banyak juga wakil-wakil rakyat kita yang tidak menyadari solusi pemecahan masalahnya. Mereka terlalu ribut dengan anggaran demi anggaran yang harus mereka “perjuangkan” untuk mendapat “jatah” lebih untuk plesir ke luar negeri dengan kedok STUDI BANDING.Hal tersebut membuat mereka lupa akan rakyatnya yang sangaaaaaaaaaaat membutuhkan bantuan mereka. Kalau dalam beberapa berita akhir-akhir ini banyak yang menyatakan bahwa pemerintah membiarkan pertumbuhan NII itu tidak sepenuhnya benar menurut saya. NII bisa tumbuh karena sifat nasionalisme yang semakin menipis di antara anak-anak muda penerus generasi bangsa ini. Intinya mereka tidak sepenuhnya memahami negaranya sendiri.
Pencucian otak yang dilakukan oleh para teroris itu muncul karena salah satu dasar dari mental anak bangsa ini ada yang hilang. Yaitu, pendidikan mengenai kebudayaan dan keragaman bangsa Indonesia. Kalau mereka sudah di didik matang mengenai hal ini, mereka akan semakin mengerti dan memahami arti sebenarnya dari bhineka tunggal ika yang dianut oleh NKRI. Paling tidak jika prinsip dasar tersebut sudah kuat, perkembangan NII akan lambat dan bahkan kalaupun tumbuh, akan sangat mudah untuk membasmi NII.
NII ada bukan untuk ditakuti dan diperbincangkan. Tindakan nyata kita sangat diperlukan untuk mengatasi perkembangan negara antah-berantah ini. Kita, rakyat Indonesia bersama para wakil rakyatnya yang di DPR dan MPR pasti bisa menuntaskan perkembangan NII jika kita bisa bekerja sama sebagai satu tim yang baik. NII adalah bahaya kambuhan (atau bisa dibilang residivis) yang bisa tumbuh kapan saja dan dimana saja. Tergantung kita mau atau tidak membasminya. Hanya dengan satu prinsip mudah. Tumbuhkan lagi kecintaan terhadap NKRI dengan memunculkan semakin banyak fasilitas-fasilitas pendidikan mengenai Indonesia di sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, hingga Perguruan Tinggi.
Kibarkanlah terus Sang Merah Putih di Bumi Indonesia.
Salam Selalu Kenthir Bersemi
***ttp://regional.kompasiana.com/2011/05/07/pendidikan-sebagai-pilar-utama/

Kategori:
Buku-buku
Jenis
Buku Anak-anak
Penulis:
Oleh : M. Shiddiq al-Jawi
Makna Bahasa Bughat

Bughat بُغَاةٌ ) ( adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ , yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kataبَغى (fi’il madhi),َيبْغِيُ (fi’il mudhari’), danبُغْيَةً - بَغْيًا بُغَاءً - (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong) (Anis, 1972:64-65, Munawwir, 1984:65 & 106, Ali, 1998:341).

Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknyaاَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Ali, 1998:295, Anis, 1972:65).

Makna Syar’i Bughat

Dalam definisi syar’i --yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] (pemberontakan).

Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah (1996:673-674), dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh Ali Belhaj (1984:242-243), dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)



A. Menurut Ulama Hanafiyah.


... البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق

( حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )


"Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).
B. Menurut Ulama Malikiyah


... البغي ... الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا ...

... البغاة ... فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه

( شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)


“Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…

Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
C. Menurut Ulama Syafi’iyah


... البغاة ... المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة

لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار

ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )


“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).


... هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع

( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )


“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).


Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)
D. Menurut Ulama Hanabilah


... البغاة ... الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع

( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )


“Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam --walaupun ia bukan imam yang adil-- dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).

E. Menurut Ulama Zhahiriyah


... بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود

( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )


“Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).


... البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا

( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 - 98 )


“Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah


... الباغي ... من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام

( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )


“Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).


Definisi Yang Rajih

Dari definisi-definisi tersebut, manakah definisi yang kuat (rajih)? Untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang teliti. Dengan meneliti definisi-definisi di atas, nampak bahwa perbedaan yang ada disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat disebut bughat (‘Audah, 1996:674). Misalnya, menurut ulama Syafi’iyah, syarat bughat haruslah karena ta`wil yang fasid, yaitu mempunyai penafsiran yang salah terhadap nash (Asna Al-Mathalib, IV/111). Sementara ulama Zhahiriyah, syarat bughat bisa saja karena ta`wil yang salah atau karena alasan duniawi, misalnya memperoleh harta benda atau jabatan (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

Sedangkan syarat itu sendiri, dalam ushul fiqih, maksudnya adalah syarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat ‘aadiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, I/186). Jadi syarat itu sebenarnya merupakan hukum syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i, seperti wudhu --sebagai salah satu syarat shalat-- berdalil surah Al-Maidah ayat 6. Maka, untuk melihat definisi yang rajih, atau untuk membuat definisi yang jami`an (mencakup unsur-unsur yang harus ada dalam definisi) dan mani’an (mencegah unsur-unsur yang tak boleh ada dalam definisi), kita harus melihat dalil-dalil syar’i yang mendasari terbentuknya definisi bughat.

Dalil-dalil pembahasan bughat, adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Al-Maliki, 1990:79), dan juga hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam (khalifah). Di antara ulama ada yang mengumpulkan dalil-dalil hadits ini dalam bab khusus, misalnya Imam Ash Shan’ani mengumpulkannya dalam bab Qitaal Ahl Al-Baghiy dalam kitabnya Subulus Salam III hal. 257-261. Abdul Qadir Audah mengumpulkannya pada aliena (faqrah) ke-659 dalam An-Nushush Al-Waridah fi Al-Baghiy dalam kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy (Audah, 1992:671-672). Di samping nash-nash syara’, pendefinisian bughat juga dapat mempertimbangkan data tarikh (sejarah) shahabat yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah Khalifah Ali bi Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Imam Asy-Syafi’i –rahimahullahu-- berkata,”Saya mengambil [hukum] tentang perang bughat dari Imam Ali radhiyallahu ‘anhu.” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1999:310). Dalam hal ini telah terdapat Ijma’ Shahabat mengenai wajibnya memerangi bughat (Al-Anshari, t.t. :153; Al-Husaini, t.t.:197).

Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu :

1.

pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
2.

adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
3.

mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Al-Maliki, 1990:79; Haikal, 1996:63).

Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :


وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ...


“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ...” (QS Al-Hujurat [49]:9)


Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”

Jadi, dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah keumuman ayat tersebut (QS 49:9). Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :


... مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ... ( روه مسلم عن أبي هريرة )


“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).

Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya...” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676).

Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain. Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat Subulus Salam, III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh Al-Qadir, II/336).

Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.

Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat:9) pada lafazh وَإِنْ طَائِفَتَان ...ِ (jika dua golongan...). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan,”...jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.

Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah (boleh dibaca mana’ah) memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang bermaksud [buruk] kepadanya (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 888).

Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :


مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )


“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143. Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).

Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.

Berdasarkan semua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa definisi bughat adalah kelompok yang padanya terpenuhi 3 (tiga) syarat secara bersamaan, yaitu : (1) melakukan pemberontakan kepada khalifah/imam, (2) mempunyai kekuatan yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi, dan (3) mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Haikal, 1996:63).

Atas dasar syarat-syarat itulah, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, dalam kitabnya Nizham Al-Uqubat, hal. 79, mendefinisikan bughat sebagai berikut :


... هم الذين خرجوا على الدولة الإسلامية , و لهم شوكة و منعة , أي هم الذين شقوا عصا الطاعة على الدولة , و شهروا في وجهها السلاح , و أعلنوا حربا عليها ...


“Orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara.” (Al-Maliki, 1990:79).

Lalu, bagaimana dengan syarat-syarat lain tentang bughat seperti adanya ta`wil yang menjadi pendorong pemberontakan (pendapat ulama Syafi’iyyah), atau syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm) ? Muhammad Khayr Haikal dalam Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (I/64) mengatakan bahwa ayat bughat (QS Al-Hujurat:9) tidak menyebutkan syarat tersebut (ta`wil). Sebab, menurut beliau, kata تَبْغِيْ(golongan yang menganiaya) dalam ayat tersebut, bersifat mutlak, tidak bersyarat (muqayyad) dengan adanya ta`wil yang masih dibolehkan (ta`wil sa`igh). Maka, kemutlakan ayat tersebut tak membedakan apakah kelompok bughat memberontak atas dasar ta`wil dalam paham agama, ataukah karena alasan duniawi, seperti hendak memperoleh harta dan tahta.

Hal yang sama dapat juga dikatakan untuk syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm). Syarat ini tidak tepat, sebab ayat bughat bersifat mutlak, tidak ada persyaratan bahwa bughat adalah yang memberontak kepada imam yang adil. Selain itu, hadits-hadits Nabi SAW tentang bughat juga bersifat mutlak (imam adil dan fasik), bukan muqayyad (hanya imam adil saja). Karena itulah, pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah apa yang yang dinyatakan Syaikh Abdurrahman Al-Maliki :


... ولا فرق في ذلك بين أن يخرجوا على خليفة عادل , أو خليفة ظالم , وسواء خرجوا على تأويل في الدين , أو أرادوا لأنفسهم دنيا , فانهم كلهم بغاة ما داموا شهروا السيف في وجه سلطان الإسلام .


”Tidak ada beda apakah [golongan bughat itu] memberontak kepada khalifah yang adil atau khalifah yang zalim, baik karena alasan ta`wil dalam agama maupun menghendaki dunia (seperti harta atau jabatan). Semuanya adalah bughat, selama mereka mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Islam (sulthan al-islam).” (Al-Maliki, 1990:79) [ ]




DAFTAR PUSTAKA


Al-Anshari, Zakariya. Tanpa Tahun. Fathul Wahhab. Juz II. (Indonesia : Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah).


Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cet. Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Al-Husaini, Taqiyuddin. Tanpa Tahun. Kifayatul Akhyar. Juz II. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Ummah)


Ali, Attabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Cet. Ke-3. (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum PP Krapyak)


Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. Ke-2. (Kairo : Darul Ma’arif)


As-Suyuthi, Jalaluddin & Jalaludin Al-Mahalli. 1991. Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim (Al-Jalalain). Cetakan Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. (Bandung : Maktabah Dahlan)


Asy-Syatibi, Imam. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. (Beirut : Darul Fikr).


Asy-Syirazi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muhadzdzab. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Audah, Abdul Qadir. 1996. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Cet. Ke-11. (Beirut : Muassah Ar-Risalah)


Belhaj, Syaikh Ali. 1994. Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam. (Beirut : Darul ‘Uqab)


Haikal, Muhammad Khair. 1996. Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Bayariq)


Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).
***http://kangady.multiply.com/reviews/item/43
888888888888

Minggu, 08 Mei 2011

bughat

Kategori:Buku-buku
JenisBuku Anak-anak
Penulis:Oleh : M. Shiddiq al-Jawi
Makna Bahasa Bughat

Bughat بُغَاةٌ ) ( adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ , yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kataبَغى (fi’il madhi),َيبْغِيُ (fi’il mudhari’), danبُغْيَةً - بَغْيًا بُغَاءً - (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong) (Anis, 1972:64-65, Munawwir, 1984:65 & 106, Ali, 1998:341).

Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknyaاَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Ali, 1998:295, Anis, 1972:65).

Makna Syar’i Bughat

Dalam definisi syar’i --yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] (pemberontakan).

Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah (1996:673-674), dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh Ali Belhaj (1984:242-243), dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)



A. Menurut Ulama Hanafiyah.


... البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق

( حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )


"Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).
B. Menurut Ulama Malikiyah


... البغي ... الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا ...

... البغاة ... فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه

( شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)


“Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…

Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
C. Menurut Ulama Syafi’iyah


... البغاة ... المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة

لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار

ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )


“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).


... هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع

( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )


“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).


Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)
D. Menurut Ulama Hanabilah


... البغاة ... الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع

( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )


“Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam --walaupun ia bukan imam yang adil-- dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).

E. Menurut Ulama Zhahiriyah


... بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود

( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )


“Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).


... البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا

( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 - 98 )


“Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah


... الباغي ... من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام

( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )


“Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).


Definisi Yang Rajih

Dari definisi-definisi tersebut, manakah definisi yang kuat (rajih)? Untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang teliti. Dengan meneliti definisi-definisi di atas, nampak bahwa perbedaan yang ada disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat disebut bughat (‘Audah, 1996:674). Misalnya, menurut ulama Syafi’iyah, syarat bughat haruslah karena ta`wil yang fasid, yaitu mempunyai penafsiran yang salah terhadap nash (Asna Al-Mathalib, IV/111). Sementara ulama Zhahiriyah, syarat bughat bisa saja karena ta`wil yang salah atau karena alasan duniawi, misalnya memperoleh harta benda atau jabatan (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).

Sedangkan syarat itu sendiri, dalam ushul fiqih, maksudnya adalah syarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat ‘aadiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, I/186). Jadi syarat itu sebenarnya merupakan hukum syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i, seperti wudhu --sebagai salah satu syarat shalat-- berdalil surah Al-Maidah ayat 6. Maka, untuk melihat definisi yang rajih, atau untuk membuat definisi yang jami`an (mencakup unsur-unsur yang harus ada dalam definisi) dan mani’an (mencegah unsur-unsur yang tak boleh ada dalam definisi), kita harus melihat dalil-dalil syar’i yang mendasari terbentuknya definisi bughat.

Dalil-dalil pembahasan bughat, adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Al-Maliki, 1990:79), dan juga hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam (khalifah). Di antara ulama ada yang mengumpulkan dalil-dalil hadits ini dalam bab khusus, misalnya Imam Ash Shan’ani mengumpulkannya dalam bab Qitaal Ahl Al-Baghiy dalam kitabnya Subulus Salam III hal. 257-261. Abdul Qadir Audah mengumpulkannya pada aliena (faqrah) ke-659 dalam An-Nushush Al-Waridah fi Al-Baghiy dalam kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy (Audah, 1992:671-672). Di samping nash-nash syara’, pendefinisian bughat juga dapat mempertimbangkan data tarikh (sejarah) shahabat yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah Khalifah Ali bi Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Imam Asy-Syafi’i –rahimahullahu-- berkata,”Saya mengambil [hukum] tentang perang bughat dari Imam Ali radhiyallahu ‘anhu.” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1999:310). Dalam hal ini telah terdapat Ijma’ Shahabat mengenai wajibnya memerangi bughat (Al-Anshari, t.t. :153; Al-Husaini, t.t.:197).

Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu :

1.

pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
2.

adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
3.

mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Al-Maliki, 1990:79; Haikal, 1996:63).

Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :


وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ...


“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ...” (QS Al-Hujurat [49]:9)


Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”

Jadi, dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah keumuman ayat tersebut (QS 49:9). Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :


... مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ... ( روه مسلم عن أبي هريرة )


“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).

Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya...” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676).

Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain. Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat Subulus Salam, III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh Al-Qadir, II/336).

Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.

Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat:9) pada lafazh وَإِنْ طَائِفَتَان ...ِ (jika dua golongan...). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan,”...jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.

Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah (boleh dibaca mana’ah) memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang bermaksud [buruk] kepadanya (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 888).

Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :


مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )


“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143. Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).

Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.

Berdasarkan semua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa definisi bughat adalah kelompok yang padanya terpenuhi 3 (tiga) syarat secara bersamaan, yaitu : (1) melakukan pemberontakan kepada khalifah/imam, (2) mempunyai kekuatan yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi, dan (3) mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Haikal, 1996:63).

Atas dasar syarat-syarat itulah, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, dalam kitabnya Nizham Al-Uqubat, hal. 79, mendefinisikan bughat sebagai berikut :


... هم الذين خرجوا على الدولة الإسلامية , و لهم شوكة و منعة , أي هم الذين شقوا عصا الطاعة على الدولة , و شهروا في وجهها السلاح , و أعلنوا حربا عليها ...


“Orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara.” (Al-Maliki, 1990:79).

Lalu, bagaimana dengan syarat-syarat lain tentang bughat seperti adanya ta`wil yang menjadi pendorong pemberontakan (pendapat ulama Syafi’iyyah), atau syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm) ? Muhammad Khayr Haikal dalam Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (I/64) mengatakan bahwa ayat bughat (QS Al-Hujurat:9) tidak menyebutkan syarat tersebut (ta`wil). Sebab, menurut beliau, kata تَبْغِيْ(golongan yang menganiaya) dalam ayat tersebut, bersifat mutlak, tidak bersyarat (muqayyad) dengan adanya ta`wil yang masih dibolehkan (ta`wil sa`igh). Maka, kemutlakan ayat tersebut tak membedakan apakah kelompok bughat memberontak atas dasar ta`wil dalam paham agama, ataukah karena alasan duniawi, seperti hendak memperoleh harta dan tahta.

Hal yang sama dapat juga dikatakan untuk syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm). Syarat ini tidak tepat, sebab ayat bughat bersifat mutlak, tidak ada persyaratan bahwa bughat adalah yang memberontak kepada imam yang adil. Selain itu, hadits-hadits Nabi SAW tentang bughat juga bersifat mutlak (imam adil dan fasik), bukan muqayyad (hanya imam adil saja). Karena itulah, pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah apa yang yang dinyatakan Syaikh Abdurrahman Al-Maliki :


... ولا فرق في ذلك بين أن يخرجوا على خليفة عادل , أو خليفة ظالم , وسواء خرجوا على تأويل في الدين , أو أرادوا لأنفسهم دنيا , فانهم كلهم بغاة ما داموا شهروا السيف في وجه سلطان الإسلام .


”Tidak ada beda apakah [golongan bughat itu] memberontak kepada khalifah yang adil atau khalifah yang zalim, baik karena alasan ta`wil dalam agama maupun menghendaki dunia (seperti harta atau jabatan). Semuanya adalah bughat, selama mereka mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Islam (sulthan al-islam).” (Al-Maliki, 1990:79) [ ]




DAFTAR PUSTAKA


Al-Anshari, Zakariya. Tanpa Tahun. Fathul Wahhab. Juz II. (Indonesia : Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah).


Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz V. Cet. Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Al-Husaini, Taqiyuddin. Tanpa Tahun. Kifayatul Akhyar. Juz II. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Ummah)


Ali, Attabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998, Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Cet. Ke-3. (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum PP Krapyak)


Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. Ke-2. (Kairo : Darul Ma’arif)


As-Suyuthi, Jalaluddin & Jalaludin Al-Mahalli. 1991. Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim (Al-Jalalain). Cetakan Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).


Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. (Bandung : Maktabah Dahlan)


Asy-Syatibi, Imam. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. (Beirut : Darul Fikr).


Asy-Syirazi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muhadzdzab. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).


Audah, Abdul Qadir. 1996. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Cet. Ke-11. (Beirut : Muassah Ar-Risalah)


Belhaj, Syaikh Ali. 1994. Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam. (Beirut : Darul ‘Uqab)


Haikal, Muhammad Khair. 1996. Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyah. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Bayariq)


Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).

Rabu, 27 April 2011

karya


Pemanfaatan Bunga Bugenvile
Sebagai
Alternatif Pengobatan  Penyakit Keputihan

Karya ini disusun untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia
yang dibimbing oleh Bu Ifa  Afidah, S.Pd

Disusun oleh:

Helthyc Zahrotul W
XII IPA II







Madrasah Aliyah Negeri Gondangledi
Jl. Putat Lor, kecamatan Gondangledi
Kabupaten Malang
Telp. (0341) 879741







Pemanfaatan
Bunga Bigenvile
Sebagai
Alternatif Pengobatan  penyakit
Keputihan Bagi Wanita









ii




Karya tulis “Pemanfaatan Bunga Bigenvile
Sebagai Alternatif Pengobatan Pengobatan Keputihan” oleh Heltyc Zahrotul Wakhida ini telah disetujui oleh pembimbing  guru Bahasa Indonesia dan wali kelas.


 Pembimbing



(Ira Afida S.Pd)


Wali Kelas



(Drs. Arif Rahman S.PD)

iii

DAFTAR PUSTAKA

Halaman Judul  ……………………………………………….
Lembar Pengesahan    …………………………………………
Kata Pengantar………………………………………………...
Daftar Isi……………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………….
B. Rumusan Masalah…………………………………..
C. Tujuan Penelitian……………………………………
D. Manfaat Penelitian………………………………….
BAB II LANDASAN TEORY
A.   Bunga bugenvile……………………………………..
B.    Ciri –ciri bunga bugenvile…………………….
C.   Manfaat Bunga Bugenvile…………………….
D.   Cara pembuatan ramuan dari bunga bugenvile..
E.    Tips dan trik Merawat bunga bugenvile……….
BAB III METODE PENELITIAN
A.   Waktu dan tempat Penelitian…………………………
B.    Subjek penelitian……………………………………..
C.   Instrumen Penelitian………………………………….
D.   Prosedur penelitian……………………………………
BAB IV PENUTUP
A.   Kesimpulan……………………………………………
B.    Saran…………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….
iv


KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Allah Yang Maha Kuasa Esa. Yang telah memberi karunianya, sehngga kami dapat membuat sebuah Karya Ilmiah  Remaja (KIR). Sebagai wujud dalam partisipasi dalam dunia karya dan pendidikan. Khususnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Sebagai wujud dalam menyesuaikan perkembangan pendidikan dan pengetahuan. Penulis mengambil tema yang sesuai dengan kemajuan teknologi untuk menyusun sebuah karya. Penulis mencoba sebaik mungkin dalam menyusun dan meneliti Karya Ilmiah Remaja. Namun,  sebaik dan sesempurna karya pasti da sisi negative.  Penulis sadar bahwa karya ini belum memenuhi kesempurnaan dalam pembuatan karya.

Maka dengan adanya hal tersebt penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pelajar. Selain itu, kami juga mengharap kritik dan saran. Sebagai wujud dari untuk menyempurnakan karya  yang lebih baik.

Penyusun
Helthyc Zarotul w


1


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia memang negara yang terkenal agraris.Bahkan berbagai tumbuhan dan hewan langkah hidup di Indonesia. Dari kekayaan itu, Indonesiasecara geografis  terletak diiklim tropis. Dari banyaknya tumbuhan  di Indonesia banyak sekali khasiat yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Salah satu dari sekian juta bunag yang ada di Indonesia adalah Bunga Bugenvile. Indonesia memang udentik dengan barbagai bungah yang indah. Terkadang kita menganggap bahwa baunga bugenvile hany sebagai tanaman hias. Yang hany dimanfaatkan keindahanya saja.
Keindahan bunag memang identik keakrapan dengan seorang perempuan.Mungki bagi para wanita pada umumnya sering mengalami masalah dengan kewanitaan.  Yang dapat mengganggu  aktifitas terutama bagi waniat ayang aktif diluar.  Dari hal itulah penulis mencoba memberikan sebuah alternative  untuk mengatasi keputihan.Penulis mencoba dengan meneliti batang  bunga bugenvile. Untuk menghadapi masalah yang biasa dialami dalam kehidupan sehari-hari.Jadi bunga Binenvile bukan hanya untuk dilihat keindahannya saja. Dengan adanya penemuan ini, kaum wanita dapat lebih tenang  dan nyaman.  
Berdasarkan pemikiran hal tersebut penulis meneliti memeneliti batang bunga bugenvile. Untuk mengtasi masalah keputihan yang di hadapi oleh wanita.

                                                 2

B.              Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng diatas, dapt disimpulakn paermasalahan yang diteliti penulis adalah sebagai berikut:
1. Kandunga apa sajakah yang terdapat pada bunga Bugenvile?
2. Apasajakah manfaat dari penggunaan bunga    bugenvile ?
3. Bagaimana proses penggunaan dan pemprosesan bunga bugenvile sebagai pengobatan keputihan?

C. Tujuan
Sesuai dengan permasalahan yang tercantum diatas. Adapun tujuan yang ingin dicapi oleh penulis  yaitu sebagai berikut:
1.      Dapat mendeskripsikan kandungan yang ada pada bunga bugwnvile.
2.       Mengetahui mafaat dari bungabugenvile
3.      Mengetahui cara pemprosessan dan penggunaan bunga bugenvile sebagai obat keputihan
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian itu, dapat diambil sebuah manfaat  diantaranya sebagai berikut:
1.      Bagi Kaum hawa, bunga bugenviledapat dijadikan alternative pencegah keputihan, tanpa menkonsumsi obat yang terdapat bahan kimia yang
3
2.      bebahaya dan memberi rfrk negative dan dapat membuat hari-hari semkin tenang dan nyaman.
2.      Bagi pemilik bunga, dapat dijadikan hiasan rumah dan mempercantik rumah
3.      Merupakan bahan alami yang sangat memberikan hkasiat
4.      Dapat menghemat uang untuk membeli obat keputihan
5.      Bagi peneliti dapat digunakan sebagai kajian untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut.













4


BAB II
LANDASAN TEORY
A.   Bunga Bugenvile
Indonesia memang terkenal dengan bunga dan hewan yang langka. Bahkan  memilki khasiat untuk berbagai pengobatan. Bunga Bugenvile adalah bunga yang asli dari Indonesiayang mempunya banyak manfaat.Nama ilmiah dari Bunga Bugenvile adalah Bougainvillea glabra. Adapun klasifikasi Bunga Bugenvile adalah sebagai berikut: Kingdom Plantae (Tumbuhan), SubkingdomTracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Super Divisi Spermatophyta (Menghasilkan biji), Divisi Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), Kelas Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil),Sub Kelas Hamamelidae, Ordo Caryophyllales Famili Nyctaginaceae, Genus Bougainvillea, Spesies Bougainvillea spectabilis.
Bunga Bugenvile juga mempunyai nama  yang sering ada di dunia yaitu terkenal dengan nama sebagau berikut Nama umum.Indonesia Bgenvile, bugenfil. Inggris Bugenville, Paper Flower. Cina Ye zhi hua, cji chong ge, le du juan.
Terlepas dari keelokan warna-warni bunga dan bayangan mitos yang menyelimutinya, bugenvil sebetulnya patut ditanam di pekarangan. Tanaman berduri yang dapat tumbuh di ketinggian 1-1400 meter di atas permukaan laut ini, dapat difungsikan sebagai obat hepatitis alami. Bagian yang digunakan untuk pengobatan hepatitis adalah batang yang sudah dikeringkan. Pengolahan sangat sederhana, cukup dengan cara direbus saja.

                                           5

Bagian kuntum bunga bugenvil juga berfungsi sebagai obat. Khasiatnya antara lain mengobati penyakit bisul, biang keringat, keputihan, nyeri haid, serta lancarkan haid yang tidak teratur. Bugenvil Berguna Sebagai Obat 

B.Ciri-Ciri Bunga Bugenvile
Layaknya bunga pada umumnya adalah untuk gimanfatkan keindahannya. Semua jenis bunga yang tunbuh mempunyai pasti mempunyai cirri ataupun karakter yang berbeda . Baik dari species, bentuk, warna dan lain-lain.Untuk mengetahu hal itu, kita harus dapat membedakan antara bunga tang satu dengan bunga yang lain. Adapun ciri-ciri dari bunga bugenvile diantaranya adalah sebagai berikut.Habitusnya Perdu, menahun, tinggi 5-15 m. Batang Tegak atau sedikit memanjat, bersegi, percabangan      simpodial,berduri yang  berbentuk kait, masih muda hijau setelah tua hitam.Daun Tunggal, berhadapan, lonjong, ujung runcing, pangkal membulat,     tepi  rata, panjang 4-10 cm, lebar 2-6cm, pertulangan menyirip, hijau. Bunga     Majemuk, bentuk malai, berkelompok tiga, di ketiak daun, bentuk  seperti terompet, putih, memiliki daun pelindung tiga helai, merah keunguan. Buah Bentuk gada, kecil, masih muda hijau setelah tua coklat. Biji Bulat, kecil, hitam. Akar Tunggang, putih kecoklatan.
C.Manfaat Bunga Bugenvile
Setiap pencinta bunga pasti mengenal bugenvil. Tanaman tropis asal negara Brazil ini terkenal sebagai tanaman hias yang memikat mata. Bugenvil memiliki banyak varietas yang menampilkan bunga beraneka warna, seperti merah muda, merah tua, putih, ungu, atau kuning. Kuntum bunga bugenvil terdiri dari lembaran kelopak bunga. Ketika mengering kelopak bunga ini menyerupai helaian kertas coklat yang tipis. Karenanya di daerah Melayu bugenvil disebut juga bunga atau kembang kertas.Kalaupun ada orang tidak suka menanam bugenvil, itu lebih karena daun dan kuntum bunga bugenvil mudah rontok. Jika ditiup angin menimbulkan tebaran sampah di mana-mana. Selain itu, tanaman perdu ini memiliki akar yang kuat.
                                               6


 Sebagai tanaman  yang dapat digunakan sebagai alternativef pengobatan. Bunga Bugenvile memiliki manfaat. Adapun manfaat dari kegunaan bunga bugenvvile yaitu srbagai berikut seperti Obat Hepatitis, Obat Keputihan, Obat penghilang bisul-bisul, Obat haid tidak teratur, Dapat digunakan sebagai penyegar tubuh.

D. Cara Pembuatan Ramuan dari Bunga Bugenvile
Dalam pembuatan ramuan kita harus memilih bahan yang baik. Serta mengerti cara dan aturan yang sesuai.Agar tidak menyebabkan ynag tidag diinginkan. Adapun cara pembuatan ramuan  obat dari bunga  bugenvile yaitu sebagai berikut:Hepatitis      : Sediakan batang bugenvil yang sudah dikeringkan. Cuci bersih, lalu rebus, saring, kemudian minum airnya selagi hangat. Untuk menyembuhkan penyakit Bisul Ambil bunga bugenvil dan daun cocor bebek secukupnya, cuci lalu haluskan. Tempelkan pada kulit yang sakit. Keputihan  Sediakan 15 gram bunga bugenvil. Setelah dicuci, rebus dengan air. Saring lalu minum airnya. Haid Tidak Teratur : Sediakan 9-15 gram bunga bugenvil .Rebus bahan dengan air. Saring, lalu minum airnya
  E. Tips dan triks Merawat Bunga Bugenvile
Agar bunga bougenville selelu berbunga, jangan terlalu banyak melakukan penyiraman. Jika media tanamnya selalu kering, maka bunga bougenville akan terus berbunga. Lakukan penyiraman hanya 3 sampai 4 hari sekali, jangan terlalu basah. Itulah mengapa, bunga ini justru dapat beradaptasi dengan baik di timur tengah yang berudara kering dengan tingkat kesulitan pengairan yang sangat tinggi, adalah karena tanaman ini cukup tahan banting dengan kekurangan air, justru berbunga terus menerus.
                                                                                 7

BAB III
METOTE PENELITIAN
A.  Tempat dan Waktu Penelitian
Dalam pelaksanaan ini peneliti melakukan penelitian di Jl. Tambak Asri, Tajinan Malang. Pada tanggal 15-28 Maret 2011.

B.Subyek Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini peneliti, peneliti meneliti dengan batang bunga bugenvile.

C.Istrumen Penelitian
Intrumen untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mencari informasi  atau pengetahuan
2.      Mempersiapkan bahan dan alat untuk penelitian seperti;
a.Batang bunga bugenvile 
b.  Kompor                        
c. Pisau
3.Melakukan penelitian  atau uji coba di dapur

D.Prosedur Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini peneliti melakukan penelitian dengan cara sebagai berikut:
1.      Mencari informasi dan sumber-sumber untuk bahan rujukan penelitian
2.      Melakukan percobaan  di lab
3.      Merebus batang bunga bugenvile dengan air 400 ml
4.      Menuangkan kedalam cangkir
5.      Mengamati hasil penelitian
                                         8

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.          KANDUNGAN DALAM BUNGA BUGENVILE
Kandungan  yang terdapat pada bunga bugenvile baik dari daun, batang  akar dan kulit batang dari bunga bugenvile mengandung saponim dan poriferal

B.           Manfaat dari penkonsumsi bunga bugenvile
Sebagai tanaman  yang dapat digunakan sebagai alternativef pengobatan. Bunga Bugenvile memiliki manfaat. Adapun manfaat dari kegunaan bunga bugenvvile yaitu srbagai berikut seperti Obat Hepatitis, Obat Keputihan, Obat penghilang bisul-bisul, Obat haid tidak teratur, Dapat digunakan sebagai penyegar tubuh.Pengolahan sangat sederhana, cukup dengan cara direbus saja. Bagian kuntum bunga bugenvil juga berfungsi sebagai obat. Khasiatnya antara lain mengobati penyakit bisul, biang keringat, keputihan, nyeri haid, serta lancarkan haid yang tidak teratur. Bugenvil Berguna Sebagai
C. Cara Pembuatan Pengobatan dari Bunga Bugenvile
Dalam pembuatan ramuan kita harus memilih bahan yang baik. Serta mengerti cara dan aturan yang sesuai.Agar tidak menyebabkan Yang  tidakn diinginkan. Adapun cara pembuatan ramuan  obat dari bunga  bugenvile yaitu sebagai berikut:keputihan Sediakan batang bugenvil yang sudah dikeringkan. Cuci bersih, lalu rebus, saring, kemudian minum airnya selagi hangat. Untuk menyembuhkan penyakit Bisul Ambil bunga bugenvil dan daun cocor bebek secukupnya, cuci lalu haluskan. Tempelkan pada kulit yang sakit. Keputihan  Sediakan 15 gram bunga bugenvil. Setelah dicuci, rebus dengan air. Saring lalu minum airnya. Haid Tidak Teratur : Sediakan 9-15 gram bunga bugenvil .Rebus bahan dengan air. Saring, lalu minum airnya
                                        9
BAB V
PENEUTUP
A.  KESIMPULAN
Drai hasil penelitian,hasil informasi serta pengamatan bunag bugenvile terbukti dapat mencegah penyakit keputihan. Terlepas dari keelokan warna-warni bunga dan bayangan mitos yang menyelimutinya, bugenvil sebetulnya patut ditanam di pekarangan. Tanaman berduri yang dapat tumbuh di ketinggian 1-1400 meter di atas permukaan laut ini, dapat difungsikan sebagai obat hepatitis alami. Bagian yang digunakan untuk pengobatan hepatitis adalah batang yang sudah dikeringkan. Pengolahan sangat sederhana, cukup dengan cara direbus saja. Bagian kuntum bunga bugenvil juga berfungsi sebagai obat. Khasiatnya antara lain mengobati penyakit bisul, biang keringat, keputihan, nyeri haid, serta lancarkan haid yang tidak teratur. Bugenvil Berguna Sebagai Obat

B.   SARAN
Saran yang dapat peneliti sampaikan adalah sebagai berikut;
1. Bagi Kaum hawa, bunga bugenviledapat dijadikan alternative pencegah keputihan, tanpa menkonsumsi obat yang terdapat bahan kimia yang bebahaya dan memberi rfrk negative dan dapat membuat hari-hari semkin tenang dan nyaman.
2.      Bagi pemilik bunga, dapat dijadikan hiasan rumah dan mempercantik rumah
3.      Merupakan bahan alami yang sangat memberikan hkasiat
4.      Dapat menghemat uang untuk membeli obat keputihan
5.      Bagi peneliti dapat digunakan sebagai kajian untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut.
                                                       10

DAFTAR PUSTAKA

1.                  CanDRayU.2011. BUGENVIL, KHASIAT DI BALIK MITOS(http://theeazayoe.blogspot.com/2007/05/bugenvil-khasiat-di-balik-mitos.html Diakses tanggal 15april 2011)

 

2.                  Isna.2010.Bugenvil Berguna Sebagai Obat (on line), (www.ibubayi.com/id/manfaat-bunga-bugenvile.html , diakses pada tanggal 15 maret 2011)


3.                  Beni.2010.Bunga Bugenvile.www.klipingku.com/result-page/ciri-ciri%20bunga%20bugenvile diakses tanggal 25 april2011















11